1.3

285 46 9
                                    

BRRUAAAK!!!

Lan Xichen kehabisan kata-kata. Dia menatap ke arah bocah tidak lazim di depan matanya ini. Bocah itu terduduk di lantai, baru saja jatuh akibat terlalu percaya diri dalam menambah kecepatan saat berlari. Wajahnya terlihat kusut. Dia tidak mengatakan apa-apa selain meringis sakit lalu termenung.

Lan Xichen berjongkok di sampingnya. Dia ingin melihat wajah anak itu, hanya untuk memastikan apakah dia menangis atau tidak. Namun setiap kali dia mencoba, bocah ini akan segera memutar badannya. Begitu terus menerus sampai Lan Xichen kehilangan akal untuk membujuknya.

"Perlihatkan wajahmu. Aku ingin lihat apakah kau menangis atau tidak."

Jiang Cheng menggeleng, menandakan bahwa dia tidak menangis. Namun terkadang jawaban seperti itu sangat meragukan. Lan Xichen tidak percaya jika dia tidak menangis.

"Wanyin, coba jawab dan lihat aku."

Lan Xichen membujuknya, dia jalan jongkok untuk melihat wajahnya. Namun sekali lagi, Jiang Cheng berputar lebih cepat dari sebuah gasing. Tidak akan membiarkan siapapun melihat wajahnya.

"Hahhh... Mau bagaimana lagi?"

Lan Xichen meraih pundak Jiang Cheng. Dengan paksa menahannya agar tidak berputar. Tapi anak itu sangat pintar, dia langsung menunduk. Tidak kehabisan akal, Lan Xichen segera meraih kedua pipinya. Mendongak paksa anak itu.

"Sakit ya? Sebenarnya kalau kau menangis, aku juga tidak akan mengejek."

Jiang Cheng menangis. Meskipun dia tidak terisak seperti anak bayi. Air mata tidak pernah berhenti mengalir dari matanya. Lan Xichen tidak pernah menemukan anak secengeng ini. Bahkan Lan Wangji saja yang berumur 6 tahun sangat jarang menangis meskipun kepalanya bocor. Namun karena itulah, dia merasa bahwa dia bertanggung jawab atas dirinya dan keselamatannya.

Itu membuat Lan Xichen secara alami ingin melindunginya.

"Di mana yang sakit?"

Jari ramping Lan Xichen mengusap air mata di pipi Jiang Cheng. Bocah itu tidak mau bersuara, sepertinya sangat takut dia mengeluarkan isakan dan berusaha menahannya. Sebagai ganti dia tidak mau membuka mulut. Jarinya menunjuk ke arah lutut, kemudian pada bagian lengan. Celana sekolahnya koyak, dan luka segar berdarah terbuka jelas di sana. Itu terlihat menyakitkan, dengan debu dan tanah yang menempel di sekitar luka.

Lan Xichen mengetahui bahwa dia sangat kesakitan. Dia berbalik dan menyerahkan punggungnya. Kedua tangannya menangkup ke belakang.

"Ayo naik, aku akan menggendong mu."

Jiang Cheng mengusap air matanya. Dia hanya mengangguk dan dengan susah payah merangkak naik ke punggungnya.

.
.
.

Lan Xichen berjalan dengan Jiang Cheng di punggungnya. Mereka baru saja keluar dari apotik dan akan segera berjalan menuju halte bus terdekat. Jikalau tidak ada bus, Lan Xichen berencana memesan Taxi sebagai ganti.

Dia menatap ke arah buntalan rambut yang berada tepat di samping wajahnya. Jiang Cheng tidak pernah mengangkat kepala. Dia lebih suka bersembunyi di bahu Lan Xichen.

"Aku sudah menaruh obatnya di tas mu. Jangan lupa pakai dan minum saat kau di rumah."

Jiang Cheng mengangguk. Membuat Lan Xichen gatal saat sensasi rambut yang kasar membelai kulitnya. 

"Omong-omong di mana rumah mu? Aku akan mengantarmu pulang. Lagipula kau tidak bisa jalan kan?"

Jiang Cheng mengangguk. Dia mencicit,

"Di dekat Dermaga Teratai."

"Dermaga Teratai?"

"Ya."

Lan Xichen melihat rute bus. Ah, jalur ke dermaga teratai baru saja berangkat 30 menit yang lalu. Mereka harus menunggu setidaknya 2 jam sampai bus lain tiba. Tapi itu terlalu lama. Jadi, Lan Xichen memutuskan untuk memesan Taxi.

Mereka berdua duduk di belakang kemudi. Sang supir mengintip dari kaca spion dan menatap ke arah dua anak remaja di belakang. Merasa gemas sendiri melihat bagaimana  anak yang khawatir itu mencoba membujuk orang di sebelahnya agar minum obat.

Mirip seperti dirinya ketika dia ingin membujuk sang istri untuk minum obat pahit.

"Hahaha, kau sungguh orang yang baik. Omong-omong, itu pacar mu atau adikmu?"

Kedua insan di belakang itu secara refleks menatap sang supir. Keduanya berbicara hampir secara bersamaan.

"Dia adik kelasku."

"Kami teman sekelas."

"Ah?"

Supir itu mengintip lagi dari kaca. Ucapan mereka berbeda, sama sekali tidak sama. Meskipun itu hampir mirip satu sama lain. Bocah perempuan itu mengatakan mereka adalah teman sekelas. Namun sebagai seorang ayah yang menyekolahkan anaknya disana. Anak laki-laki berambut panjang itu sebenarnya anak kelas 3. Bisa dilihat dari emblem yang berada di dada kanan nya. Lan Xichen telah jujur, namun Jiang Cheng salah paham. Hal itu membuat sang supir geli sendiri.

Apa anak-anak sekarang melakukan pendekatan dengan cara seperti ini? Lucu melihat mereka berbohong, hahaha.

"Oh begitu.."

Setelah pernyataan itu, tidak ada yang berbicara lagi. Bahkan sang supir juga tidak mau repot-repot untuk mencari topik. Dia hanya menikmati pemandangan dua bocah yang berinteraksi di belakang.

"Oh iya. Jika kalian berpacaran suatu saat nanti. Jangan lupa beritahu aku ya."

"..."

"..."

.
.
.

"Loh A-Cheng kenapa!"

Wei Wuxian berlari ketika dia melihat adiknya di bopong oleh orang asing. Dia mengambil alih adiknya, menatap tajam pada Lan Xichen. Namun sebelum sempat dia ingin mengeluarkan sumpah serapah dari mulutnya. Mendadak lidahnya kelu.

"Oh, Lan Wangji?"

Lan Xichen merasa canggung. Dia terus menerus di kira sebagai Lan Wangji. Apa mereka semirip itu?

Wei Wuxian memperhatikan sosok di depannya dengan lebih teliti. Dia menatap dari ujung kepala sampai kaki. Orang ini sedikit berbeda dari Lan Wangji tembok menyebalkan teman satu kelasnya itu. Kemudian dia salfok pada emblem kelas 3 pada dada pemuda ini.

"Ah... Bukan. Siapa kau?"

Alis Lan Xichen naik secara otomatis ketika dia menyadari bahwa Wei Wuxian tampaknya menyadari bahwa dia bukan sang adik. Kemudian dia melihat ke arah mata yang tengah menatapnya. Arah itu menuju pada emblem kelas miliknya.

"Ah? Haha, iya. Aku bukan Lan Wangji. Aku kakaknya, Lan Xichen. Salam kenal."

Wei Wuxian menatap dengan penuh sanksi.

"Lan Wangji punya kakak?"

"Lalu menurutmu, aku ini siapanya?"

Wei Wuxian terdiam seribu kata. Awalnya dia ingin bersikap ramah. Tapi dijawab seperti itu, mereka berdua — Lan Wangji atau Lan Xichen — sama-sama mampu membuat orang lain jengkel.

"Mana tau ayahnya."

Lan Xichen hanya mengulas senyum.

"Itu berbeda... Aku sangat mirip Ibu, dia yang mirip ayah. Jika kau bilang aku ibunya, aku akan sedikit terima."

Wei Wuxian tiba-tiba jengkel sendiri. Dia mendelik tidak suka. Kemudian menatap ke arah adiknya yang hanya menikmati debat tanpa berbicara apa-apa.

"Kau bertemu orang menjengkelkan seperti dia ini di mana sih?!"

"Oh?" Jiang Cheng melongo, menatap langsung ke mata Wei Wuxian dan memiringkan kepala. Matanya menatap ke langit, mencoba mengingat-ingat. "Di koridor sekolah!"

Wei Wuxian mendengus, "Lain kali jangan berbicara lagi dengan orang aneh."

Jiang Cheng kembali menatap ke arah Wei Wuxian. Dia kemudian mulai membandingkan kedua orang ini. Setelah mendapatkan kesimpulan, dia berkata:

"Dia tidak aneh, kamu yang aneh tuh."

"A-Cheng! Lihat apakah aku mau jika kamu memintaku menemani mu ke kamar mandi!"

Ttalgi | XichengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang