17

4 2 0
                                    

Diva meregangkan otot-ototnya ketika bel pulang berbunyi. "Akhirnya pulang sekolah juga!" ucapnya sembari mengerang kecil.

Guru yang mengajar masih berada dikelas dan tak sengaja melihat tingkah salah satu muridnya, si Diva, hanya bisa menggeleng pelan.

"Yee semangat banget hari ini, mau pulang bareng gue gak, Div?" goda Rafi, masih ingat sama cowok yang suka membuat Diva naik pitam di kelas?

Diva memutar bola matanya malas, tak mau menjadi pusat perhatian, ia lekas memakai tasnya lalu berpamitan dengan guru yang sedang beberes barangnya.

Kebetulan, dia adalah guru sekaligus wali kelasnya, jadi dipastikan dia paham sama keadaannya sekarang.

"Maaf Bu, Diva ijin keluar duluan. Diva buru-buru karena ada urusan."

Ibu guru tersebut nampak mengangguk sambil menatap Diva, tersirat raut khawatir. "Iya, silahkan. Hati-hati, ya."

"Wo! Pasti mau cari Figam lagi!" seru Rafi memanasi keadaan.

"Iya, ngapain cari dia, Div? Dia kan berprestasi dan kalah jauh dari kita, bolos sehari dua hari aja masih diterima guru-guru." sahut teman dekatnya Rafi, memang sefrekuensi mereka berdua.

"Dia sudah ketemu, santai aja elah!" balas Diva santai.

"Gimana keadaannya, Diva?" tanya Mona menatap Diva rendah.

"Kemarin lo pasti khawatir banget dan hampir ngerasa kehilangan dia, ya?" Alin ikut menanyakannya.

Diva jijik mendengarnya, ia menampilkan wajah sok munafiknya. "Wah, sejak kapan kalian peduli?" tanyanya membuat mereka diam seribu bahasa.

Diva menghela nafasnya panjang. "Akhirnya, ada yang peduli juga sama Figam selain gue, teman kelasnya." ungkap Diva menekankan dua bait kata akhirnya sembari menatap semua teman kelasnya, sorot matanya berhenti tepat pada tempat Mona dan Alin duduk.

Di sana, Mona dan Alin salah tingkah sendiri. Mereka berdua memalingkan wajahnya sembari memasukkan barang-barang mereka di meja sendiri seakan tak melihat ada Diva didepan.

Diva menatap malas lalu pergi keluar kelas, di luar gerbang sekolah, Devan sudah menunggunya.

Dilain tempat, Figam sedang duduk dengan selang oksigen dan infus yang masih menemaninya.

Figam nampak banyak pikiran.

Jika diobservasi, mereka memang tulus dan terbuka padanya.

Alden dan Kamalia atau orang tuanya Devan Diva, dan Devan. Mereka bertiga nampak tulus menerimanya.

Namun, apakah Diva sudah mengetahuinya?

Jika iya, apakah dia menerimanya?

Figam belum bertemu dengannya semenjak ia sadar di ruangan ini.

Figam mengalihkan pandangannya lalu menatap Kamalia yang sedang memotong apel untuknya didekat jendela.

Figam tersenyum simpul, hari ini Kamalia menemani Figam hampir seharian.

"Ibu," panggil Figam pelan.

Kamalia menoleh lalu tersenyum tulus. "Iya, Figam?"

"Terima kasih, maaf sudah merepotkan ibu hampir seharian ini."

Kamalia menggeleng pelan, ia nampak akrab dengan Figam. Kamalia pikir, ia bakalan diam dalam kecanggungan atau hanya ia saja yang berbicara, namun diluar dugaan. Figam berhasil menarik perhatiannya.

"Sudah lima kali Ibu hitung kamu ngomong begitu, sekali lagi ngomong gitu ibu suapin satu apel utuh nih, mau?"

Figam terkekeh pelan sambil meminta ampun lalu menatap ke arah jendela lainnya yang terbuka, pemandangan di luar sana nampak indah. Entah sampai kapan ia akan dirawat di sini, mengingat tubuhnya saja masih belum pulih.

Dear FigamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang