23

5 2 0
                                    

Diva menutup matanya seraya merasakan udara terakhirnya sekilas, setelahnya ia menikmati kebersamaannya pada orang-orang di sekitar.

"Selamat atas pencapaian lo, Diva."

Mendapati Figam datang dan menyapa, Diva tersenyum kecil.

Melihat dua piala kebanggaannya tergenggam erat di tangan, mendapatkan rangking 3 di kelas dan juara umum ketiga pada Acara Pelepasan dan Perpisahan membuat siapa saja tak percaya atas pencapaian Diva.

Diva sendiri terlebih dahulu sudah percaya diri bahwa ia akan juara, dan benar saja Diva membanggakan dirinya ketika namanya dipanggil sebagai juara jadi, tidak ada yang perlu Diva kejuti karena ia sendiri juga yakin akan hasilnya.

Semua mata pada Diva berubah seketika mendapati Diva di versi lain.

Diva mengenakan kebaya modern dan berias sesuai umurnya serta tidak berlebih-lebihan saja sudah menarik perhatian teman-teman seangkatannya yang kebanyakan memakai tema shimmer. Apalagi poinnya bertambah ketika mengetahui pencapaian Diva yang mengejutkan.

Beauty privillege dan smart privillege memang ada dan benar-benar nyata.

Diva sendiri mengalaminya.

Mengingat teman seangkatannya sebelumnya mengenal dirinya sebagai sosok yang extrovert, pemberani dan barbar rasanya kebanting ketika perlakuan mereka berubah karna sekarang ia disanjungi dan diteladani.

Ya, semua orang memang begitu dan tidak ada yang tahu bagaimana prosesnya.

Biarkan mereka memujinya sampai mati karena sejatinya mereka tetap hanya akan melihat hasil akhir dan melupakan prosesnya.

"Ada yang mau lo omongin ke gua?"

Diva menyembunyikan pemikiranya lalu membalas pertanyaan cowok dihadapannya dengan menggelengkan kepalanya pelan.

Sembari memperhatikan penampilan Figan yang nampak berbeda 180 derajat, Diva mengangkat suaranya.

"Terima kasih atas kerjasamanya. Kalo bukan karna berkat lo, gue gak bakal bisa berada di titik ini."

"Gue salut sama tingkat konsisten lo. Jujur, gue udah lupa bagaimana pecicilan lo dulu."

Diva terkekeh pelan, semenjak Diva mengutarakan bahwa ia ingin serius, tidak ada lagi tempat dimana Diva yang mengganggu dan tidak ada lagi acara mengikuti kemanapun Figam pergi.

Tepat dari kurang dua bulan lalu, Diva fokus mengupgrade dirinya. Tidak ada lagi makan di kantin, hal itu digantinya dengan membawa bekal yang berisi real food, memakannya di dalam kelas setelah itu melanjutkan ambisinya sampai pulang sekolah dan fokus berguru privat. Hanya itu yang dilakukannya dari dua bulan yang lalu, semua nampak monoton.

Dapat Diva lihat Figam juga mulai nampak berbeda sekarang, saking fokus pada ambisinya Diva jadi jarang berkomunikasi dengan santai bersamanya. Diva rasa, cowok ini bukan Figam kecilnya dulu. Cowok dihadapannya ini justru seseorang dengan tingkat kedewasaannya.

Banyak hal yang sudah Diva tak sempatkan ketika bersama Figam, semua itu disebabkan ambisinya pada pelajaran.

Figam sendiri juga tak mempermasalahkan karena sejatinya selama kurang dua bulan juga ia fokus mencari penghasilan dan mengurus hidup mandirinya di umur yang seperti sekarang.

Ada beberapa cuplikan di memori Diva terkait masalah komunikasinya selain masalah pembelajaran pada Figam yaitu, saling mengajak pergi ke kantin atau ke perpustakaan.

Hanya itu, benar-benar monoton.

Diva menghela napasnya santai, ia juga gak tahu kemana perginya Diva pecicilan itu.

Dear FigamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang