19

3 2 0
                                    

Masih dihari pertama, tepat setelah Devan datang membawakan buku pelajaran Figam, kini pemiliknya berdiam diri sebentar di dalam kamar sambil beberes buku-buku yang dibawakan Devan tadi.

Diva memunculkan kepalanya ke kamar Figam, pintu kamar cowok itu memang sengaja tak ditutup.

Diva tetap diam memperhatikan sambil berharap bakal disadari lalu dipanggil Figam.

Lelah menampakkan kepalanya kini Diva menampakkan semua dirinya di depan kamar.

Beberapa detik berlalu membuat alis Diva mengerut.

"Kalo udah gak sibuk turun, ya," ujar Diva pada akhirnya.

Figam menoleh ke sumber suara lalu menyapanya.

"Eh, Diva." Figam menghampirinya sambil memberikan kamus matematikanya.

"Lo bakal butuh ini."

Diva menerimanya lalu mengangkat kepalanya pelan.

Diva tersenyum miring sambil berdehem panjang.

"Gue gak expect kalo tinggi lo harus sama kayak gue ke lo pas awal kita temenan."

Figam terkekeh dan tak sengaja suaranya nampak serak basah. "Sekarang gue yang bakal panggil lo ... pendek," ucapnya lalu batuk kecil.

Diva mencibir kesal lalu pergi ke ruang tamu sekaligus ruang perkumpulan keluarga sehari-hari.

Beberapa saat beberes Figam pergi ke kamar mandi dan menuju wastafel sekedar mencuci tangan.

Di sisi lain, Diva tampak sibuk dengan game di ponselnya, tatapannya fokus ke depan karena layar ponselnya terhubung ke layar tv, sesekali diwaktu persembunyian tokoh yang dimainkan, Diva lekas memakan beberapa cemilannya.

Figam turun dari tangga dan menemukan Diva terus menyumpah serapahi lawan yang menyerang tokohnya.

Tepat setelahnya Devan muncul melewati Figam sembari membawa dua mangkok berisi bakso.

"Sini Gam! Kita mabar, makan bareng maksudnya sambil nonton tuh bocah noob," ajak Devan lalu mendudukkan dirinya di sofa.

Figam menurutinya lalu menyusul.

"Enak, kan? Beli di depan barusan," ujar Devan sambil melahap baksonya yang masih mengeluarkan uap.

Figam mengangguk lalu meneguk air putihnya.

"Hmm, pedas," ungkap Figam padahal ia hanya menuangkan sambal lomboknya setengah sendok kecil.

"Hehe gua lupa kasi tau kalo sambal cabenya pedas. Biasanya juga cuma dua atau tiga tetes."

Figam diam menatap Devan datar, sedangkan Devan membalasnya dengan menyengir tanpa dosa.

"Sini gue beliin yang baru," ujar Devan lalu bangkit.

Figam menahannya. "Gak perlu, udah habis juga."

Devan melirik mangkok Figam ditangannya. Kosong, Devan menyengir pelan. "Sorry ya, Dek."

Di sela-sela permainan, Diva menoleh ke sumber bau harum kaldu karena sedari tadi berhasil membuatnya gagal fokus.

"Lah, sejak kapan kalian di sini?" Sorot mata Diva mengarah pada mulut Devan yang sedang memasukkan bakso.

"Punya gue mana?" tanya Diva lagi.

"Tuh didepan masih ada kok gerobaknya, banyak yang antri soalnya."

Kesal, Diva melempar ponselnya ke arah Devan lalu lekas pergi ke tempat tujuannya.

Figam sendiri bangkit membawa bekas mangkok dan gelasnya.

Dear FigamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang