Satu bulan sudah, sejak terakhir kali Nandira melihat Sabrina ceria dan penuh dengan bunga bunga asmara, berubah pendiam dan muram seperti sekarang. Hampir dua tahun ia mengenal gadis itu, selama dua tahun itu pula Sabrina mengabdikan dirinya untuk jatuh cinta pada satu orang sementara ia sudah berpacaran sebanyak tiga kali. Nandira sempat berpikir bahwa spesifikasi perempuan sejenis sahabatnya itu layak untuk punya banyak fans, berganti ganti pacar, bahkan mencampakkan pria-pria yang dianggap tak layak. Tapi Sabrina justru menetap di satu tempat yang tidak memberinya kejelasan apa-apa.
"Jadi, siapa yang berani bikin Sabrina gue nangis?" Suara Anton membuyarkan lamunan Nandira.
"Ton! Kebiasaan lu ya. Kaget gue tau tau duduk samping gue ngomong di telinga gitu. Ih!" Omel Dira, tentu saja dengan satu tangan yang mendaratkan pukulan ke Anton.
"Sori sori. Gue masih nggak terima ada orang yang berani nyakitin dia."
Sama. Dira juga tidak terima. Tapi ia bisa apa? Sabrina yang patah hati sampai terbawa perasaan saat memeragakan emosi di pelajaran bahasa Indonesia kemarin. Dengan bodohnya gadis itu tiba-tiba terisak saat men-deliver rasa marah dan kecewa di kelas drama. Satu kelas jadi tahu, Sabrina sedang benar-benar marah saat itu. Semua orang jadi tahu, gadis itu patah hati oleh seseorang.
"Emang siapa yang dia suka?" Anton kembali memburunya dengan pertanyaan.
"Ada lah. Kakak kelas. Lo juga nggak akan kenal."
"Siapa sih yang gue nggak tau di sekolah ini Dir?"
"Sindhu Nagara. Dua belas IPS 4. Tau nggak?"
Mata Anton berkedip bingung, lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak tau. Siapa tuh?"
Dira mendesis kesal, lalu beranjak dari tempat duduknya untuk keluar kelas, sementara Anton yang sedang menggaruk kepalanya ia tinggalkan begitu saja.
Dira berjalan ke arah kantin, menuju kerumunan orang-orang yang berlalu lalang. Tangannya melambai ke Sabrina yang memasang raut bingung seperti sedang mencari sesuatu. Dira mendekat, dan benar saja, kotak biru tua itu masih gadis itu genggam.
"Masih nyariin? Emang dia nggak punya handphone apa? Kan bisa di call Sab..."
Sabrina menggeleng lesu. "Nggak diangkat."
"Yaudahlah, besok lagi."
Alih-alih menuruti nasihatnya, Sabrina menunduk lesu pada kotak hadiah itu. "Padahal gue cuma mau ngasih ini."
Dira mengelus belakang lehernya, lalu tersenyum miris. Ia bingung harus menanggapi kalimat itu dengan apa. Bukankah hal yang paling sulit adalah menasihati orang yang sedang jatuh cinta? Dira memilih untuk tidak mengatakan apapun yang tidak perlu. Tapi sungguh, ia benar benar merasa kasihan pada gadis itu sekarang.
****
Pukul lima sore sekarang. Sabrina duduk dengan tas yang ia kenakan di punggung. Satu tangannya memegang ponsel sejak tadi. Tidak ada balasan. Gadis itu juga beberapa kali mencoba untuk melakukan panggilan, tetapi ia hanya mendengar nada dering.
Wajahnya pucat pasi. Bukan karena ia tidak makan sejak tadi. Tapi karena otaknya berpikir terlalu keras, tentang kenapa Sindhu tiba-tiba menghindarinya. Sabrina tahu, semua anak kelas dua belas sedang sibuk persiapan SBMPTN dan menunggu pengumuman kelulusan. Tapi, apa tidak mungkin membalas pesannya sesekali? Atau mengangkat telepon darinya sebentar saja?
Lamunan gadis itu buyar saat tiba tiba terdengar dering nada dari ponselnya yang bergetar. Ada nama Sindhu disana yang membuatnya antusias segera mengangkatnya.
"Sab?"
"Ndu? Kenapa nggak ngangkat dari tadi?"
"Sori. Lagi-- nggak pegang." Ucap Sindhu sedikit terbata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Nostalgi(l)a
RomantikBagaimana jika cinta pertamamu ternyata penyuka sesama jenis? Dalam hidupnya, Sabrina hanya jatuh cinta sekali. Kepada sosok bermata teduh, berparas biasa, dan berpenampilan sederhana, Sindhu. Cinta pertama yang begitu naif di usianya yang masih san...