Bab 5

16 1 0
                                    

Abshari Nuria Rahmatiani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Abshari Nuria Rahmatiani

20 Tahun

"Memangnya kamu sepenting itu?"



Ikrar Sastra Yogiswara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ikrar Sastra Yogiswara

20 Tahun

"Lah, siapanya yah?"



***

Tiga hari masa ospek sudah terlewati dan beberapa mahasiswa baru terlihat sudah saling bergaul dengan teman-temannya masing-masing, "Sastra!" panggil gadis itu ke seorang lelaki yang sibuk menulis di meja bawah pohon.

Lelaki itu tidak membalas panggilannya tapi gadis itu tetap mendekatinya, "Kamu nggak ke kantin?" tanya gadis itu basa-basi.

Kembali lelaki itu tidak menjawab, dia masih fokus menulis di bukunya, akhirnya fokus gadis itu juga ke buku lelaki itu, "Tanda tangan senior kamu sudah lengkap?"

Lelaki itu membalik buku yang dia tulisi, "Masih ada tiga senior lagi yang masih harus aku minta tanda tangannya." Akhirnya Sastra mau membalas ocehan gadis itu.

"Ya udah ayo ke kantin, semua senior ada di sana, kamu bisa dapat tanda tangan di sana," ajak Lodya, gadis itu.

***

Kantin kampus terlihat sangat riuh, memang jam segini adalah jam istirahat makan siang. Nuria beserta sepupu dan teman-temannya pun sudah menguasai satu meja kantin itu, "Kamu masih menghindari anak baru itu?" tanya Jaira tiba-tiba.

Nuria mengerutkan keningnya, "Siapa?"

"Itu loh si anak baru yang kemarin rese banget karena ngebelain temannya." Nuria menggulirkan matanya ketika sepupunya itu mengingatkannya ke anak baru sok pahlawan itu.

"Ngapain juga, dia tidak sepenting itu untuk harus saya hindari juga dia tidak sepenting itu untuk kita selalu ketemu," cuek Nuria.

"Kalau dia terlalu menganggu kamu, kamu bisa ngomong sama aku kok, Nuria." Matthew juga ikut nimbrung.

Nuria tertawa, "Apa dia sepenting itu sampai kita harus bicarakan sekarang?"

Mereka mengerti kalau Nuria benar-benar menghindari pembicaraan mengenai laki-laki itu tapi nyatanya semesta tidak berpihak kepada mereka, "Kak Matthew, saya bisa minta tanda tangan kakak?" Lelaki yang dibicarakan tiba-tiba muncul entah dari mana.

Jaira menatap sinis lelaki itu sedangkan Nuria tidak berekspresi apapun, "Boleh, sebentar saya cuci tangan dulu." Tentu saja Sastra menunggu dengan sabar.

Sesuai dengan kesepakatan terbaru bahwa mahasiswa baru tidak boleh dipersusah apalagi untuk minta tanda tangan seperti ini jadi harus segera diberikan, "Aku ke sana perpustakaan dulu mau ketemu sama bu Darmi." Tiba-tiba Nuria beranjak pergi setelah menghabiskan makanannya.

Sastra mengikuti gadis itu yang beranjak pergi, "Saya tanda tangan di kolom mana yah?" Matthew yang merasa dicuekin dan tidak suka Sastra yang terus menatap Nuria.

Nuria terus berjalan ke perpustakaan, sebenarnya itu bukan alasannya untuk menghindari mahasiswa baru itu tapi memang dia ada keperluan dengan dosen yang selalu mejeng di perpustakaan mereka, "Kak!" Suara bass seorang lelaki tidak menghentikan langkah Nuria.

Nuria sudah tahu siapa pemilik suara ini, "Kak!" Mau tidak mau Nuria harus berhenti karena tangannya ditarik oleh Sastra.

Sastra terlihat ngos-ngosan, sepertinya karena mengejar Nuria, "Saya mau minta tanda tangan kakak.

Mereka saling berpandangan sampai Sastra juga bingung kenapa Nuria tidak bereaksi apapun, "Gimana saya bisa tanda tangan kalau kamu terus pegang tangan saya kayak begini," ujar Nuria kesal.

Sastra melepas tangan Nuria dengan agak kagok, Nuria mengambil pulpen milik Sastra dan menandatangani buku Sastra, "Kamu menghindari saya karena masih marah sama saya?" tanya Sastra tiba-tiba.

Acara tanda tangan telah selesai tapi Nuria melihat Sastra intens, "Apa kamu sepenting itu?" tanya Nuria kembali.

Sastra terdiam, "Memberikan kamu tanda tangan dalam waktu tiga hari menandakan saya punya hati nurani tapi menurut kamu saya tidak punya berarti seharusnya hari terakhir opsek kamu baru saya memberikan tanda tangan," ujar Nuria lagi.

Nuria kembali melanjutkan langkahnya, "Saya minta maaf!" Suara Sastra meninggi, terlihat seperti teriak.

Nuria terhenti dan itu kesempatan Sastra untuk mendekatinya tapi seorang laki-laki tinggi mendekatinya. Tanpa ba-bi-bu, Nuria memeluk lelaki itu dan membuat Sastra semakin bertanya-tanya, "Kalian masih ingin mengobrol?" Lelaki itu menyadari kalau Sastra terus memandang mereka.

Nuria berbalik dan menatap Sastra dingin, "Nggak ada!" Lalu dua orang itu meninggalkan Sastra yang terdiam.

Sisi-Sisi Dewi (Mini Fiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang