Bab 11

6 0 0
                                    

Abshari Nuria Rahmatiani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Abshari Nuria Rahmatiani

20 Tahun

"Dia kenapa sih?!"



Ikrar Sastra Yogiswara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ikrar Sastra Yogiswara

20 Tahun

"Akhirnya... aku khawatirin kamu..."



***

"Ra, sorry yah aku ngerepotin," ujar Jaya dari teleponnya.

Di seberang sana, Tira juga sedang membereskan barang-barang milik keponakan tersayangnya, "Apanya yang ngerepotin sih, Jaya? Udah tenang, kamu semalam sudah ngobrol sama Nuria, aku juga sudah ngobrol sama Nuria. Nuria itu anaknya pengertian kok jadi dia pasti memaklumi kalau kamu juga ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal."

"Aku cuma takut kejadian kemarin terulang Ra, mana Nuria sama sekali tidak mau cerita sama aku kenapa kemarin dia bisa ada di dekat makam mamanya." Jaya menghembuskan napas kesal.

Tira juga merasa kalau keponakannya sedang ada masalah, pasalnya tadi pagi dia mendapati Nuria tengah melamun, "Ya, anak-anak kita sekarang sudah besar, pasti tidak mudah untuk mendekati mereka. Biarkan saja Nuria tenang dan selesaikan masalahnya sendiri, apabila dia buntu atau dia sudah menyelesaikan masalahnya pasti dia akan cerita sama kita." Tapi Tira tidak mau menceritakan tentang melamunnya Nuria ke papanya karena pasti menambah pikiran Jaya.

Jaya terdiam dan telepon itu pun berakhir, Jaya menyenderkan badannya di kursinya. Dia memutuskan untuk ke café sebelah kantornya, sepertinya dia membutuhkan kopi untuk menenangkan otaknya. Namun ternyata dia salah, keadaan café itu sedang ramai mungkin karena bertepatan dengan jam makan siang. Jadi Jaya memutuskan untuk membawa minumnya ke ruang kerjanya saja.

"Jaya?" Seseorang dari kerumunan pengunjung itu mengenalinya.

"Janita?! Kamu ngapain di sini?" Senyum merekah di bibir Jaya melihat itu adalah Janita.

"Aku lagi kunjungan ke café aku, ini café aku, kamu sering makan di sini?" Janita juga sama senangnya ketika melihat Jaya.

"Oh ini cafému, aku baru ini langsung ke sini karena biasanya dibelikan sama OB makanya kita baru ketemu." Jaya benar-benar tidak menyangka kalau dia ternyata sedekat itu dengan Janita.

Janita tersenyum sangat manis, "Kalau begitu aku suruh pelayan aku buat bikin pesanan kamu dan kita ngobrol di luar, dalam sini ribut banget." Jaya mengangguk kemudian ikut keluar bersama Janita.

Dan berakhirlah mereka di salah tempat duduk luar café Janita, "Jadi ada apa sampai CEO turun tangan sendiri membeli kopinya?" tanya Janita setengah meledek.

Jaya tertawa sambil menyesap kopinya, "Aku lagi mumet sama kerjaan dan kepikiran sama anakku makanya aku memilih buat jalan sambil beli kopi."

"Anakmu?" Janita menatap Jaya untuk bercerita lebih tentang anaknya, pasalnya pertemuan mereka tidak membahas keluarga Jaya sama sekali.

Wajah Jaya tiba-tiba sedih, "Kemarin dia sakit, sepertinya dia ada masalah mengingat temannya menemukan dia terbaring di halte dekat makam mamanya. Anakku sama sekali tidak cerita sama aku dia ada masalah apa dan itu yang membuat aku takut, aku tidak mau dia terluka sedikit pun."

Janita tahu kalau istri Jaya sudah meninggal dan Jaya mengurus anaknya seorang diri, "Kalau dia punya papa seperti kamu dan ibu seperti Aleecia pasti dia akan menjadi anak yang kuat. Perlihatkan sama dia kalau kamu nggak akan tinggalin dia, dia pasti akan menceritakan semuanya sama kamu." Jaya tersenyum ke Janita, dia bersyukur wanita ini bisa menenangkan kerisauan hatinya.

***

Sudah dua hari ini kegiatan pagi Sastra adalah menyambangi kelas seniornya sampai terkadang Jaira yang mengusirnya, "Kenapa kau jadi sering ke sini, Sastra?" Lodya yang ikut bersamanya juga bingung dengan kelakuan Sastra akhir-akhir ini.

Sastra diam saja, dia malah mendenguskan napas kasar, "Apa sesakit itu hingga sampai sekarang dia belum masuk?"

"Lodya, kamu mau ke perpustakaan, kan? Aku mau ke kantin sebentar, kasih tahu yah kalau perkuliahannya sudah dimulai." Anggukan dari Lodya pun membuat Sastra melangkahkan kakinya pergi.

"Kamu beneran mau duduk di sini saja? Aku harus jalan sampai ke bagian administrasi, aku nggak mungkin bawa kamu ke sana." Jaira mendudukkan Nuria di kursi dekat lapangan basket kampus.

Nuria memang sudah masuk kampus tapi belum terlalu banyak bergerak dulu, "Nggak apa-apa, kalau ada chat dari grup tentang makul yang sudah mulai paling aku ke kelas." Nuria menenangkan sepupunya yang terkadang posesif itu.

"Ya sudah, jangan ke mana-mana kalau bukan ke kelas!" peringat Jaira lagi lalu pergi.

Nuria melamun menatap lapangan basket yang kosong, dia terpikir bagaimana dia harus menjelaskan kegundahannya pada papanya. Dia tahu kalau papanya bertanya-tanya akan kelakuannya kemarin tapi dia tahan karena takut Nuria yang habis sakit malah berpikir macam-macam. Nuria sendiri juga tidak mau papanya berpikir macam-macam makanya dia dilemma antara harus mengatakan kegundahannya atau tidak.

"Kamu di sini!" Suara bass seseorang menyadarkannya dari lamunannya.

Nuria menatap tidak suka ke lelaki itu, dia berdiri dari duduknya dan bermaksud untuk pergi, "Nuria!" Sastra dengan cepat menangkap tangan gadis itu.

"Apa sih?!" Nuria pastinya meronta ingin dilepaskan.

"Dengerin aku!" Nada tegas yang dikeluarkan Sastra membuat Nuria terdiam.

Mereka saling menatap dalam diam itu, "Aku minta maaf." Mata Nuria terbelalak, bingung, ada dengan lelaki ini.

Sisi-Sisi Dewi (Mini Fiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang