Abshari Nuria Rahmatiani
20 Tahun
"Lain kali aku cek jadwal bus deh"
Ikrar Sastra Yogiswara
20 Tahun
"Tuh anak bakalan pulang dengan selamat, kan?"
***
Jaya masuk ke rumahnya dengan agak pelan, jam menunjukkan sudah hampir tengah malam dan Jaya memang tidak biasanya pulang jam segitu. Dia membuka sepatunya dan menaruh di tempat sepatu, badannya terasa capek tapi hatinya agak senang, seulas senyum pun lahir dari bibirnya.
"Papa kenapa jam segini baru pulang?" Lampu yang tadinya mati menjadi terang benderang dan betapa kagetnya Jaya menemukan anak gadisnya ternyata ada di rumah.
"L-loh, papa kira kamu nginap di rumah Jaria?" Anak gadisnya ini tadi memang pamit padanya lewat chat kalau akan ke rumah sepupunya.
Nuria menatap papanya tajam, "Nuria kan nggak bilang di chat kalau mau menginap," ucapnya sinis.
Papanya menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal itu, "Iya mungkin papa kelebihan baca chat kamu." Jaya malah cengengesa, Nuria mendengus kesal lalu berjalan meninggalkan papanya.
Belum sempat Nuria memegang pintu kamarnya, papanya sudah menarik Nuria dan memeluknya, "Kesal yah sama papa?" Papanya sudah tahu sekali dengan sikap anak satu-satunya ini.
"Papa nggak biasanya pulang jam segini bahkan kalau banyak kerjaan sekalipun! Papa ke mana dan ngapain?!" Jaya tersenyum karena mode posesif anaknya muncul.
Jaya mengelus punggung anaknya, "Papa ketemu sama teman papa kemudian kita ngobrol-ngobrol eh malah kebablasan. Papa pikir juga kamu nginap di rumah Jaria jadi nggak bakalan nyariin papa."
"Jadi kalau Nuria nggak ada di rumah, papa mau pulang malam kayak begini terus?! Sekalian saja Nuria tidak usah pulang ke rumah!" Nuria menatap papanya kesal.
"Eh jangan gitu ah! Siapa bilang papa nggak mau Nuria ada di rumah! Jangan bilang mau tinggalin papa dong, papa jadi takut tahu!" omel papanya.
Pelukan papanya semakin erat membuat Nuria mengantuk, "Papa bohong," batin Nuria.
***
Nuria telah menyelesaikan perkuliahannya, biasanya kalau papanya tidak menjemput atau dia tidak pulang bareng Jaria maka ada supir yang akan menjemputnya. Kebetulan sekali hari ini Nuria sedang tidak ingin pulang dengan siapapun makanya dia memutuskan duduk di halte bus menunggu bus untuk sampai ke rumahnya. Papanya sudah mengingatkannya kalau dia akan sibuk seharian ini di kantor, Nuria iya-iya saja walau ada sedikit rasa tidak percaya dalam hatinya. Jaria sedang ikut acara bersama papanya, papanya minta menemani karena mamanya sedang sibuk di acara lain.
Pikiran Nuria sedang mumet jadi ini adalah salah satu keberuntungannya, dia juga sengaja tidak menelpon supirnya walau sudah diwanti-wanti oleh papanya, "Beberapa kali secara kebetulan aku menemukan kamu di tempat yang aku tidak pernah lihat kamu sebelumnya." Lagi-lagi keberuntungan Nuria patut dipertanyakan dengan adanya suara lelaki ini.
Nuria menatap lelaki itu yang sudah duduk di sampingnya juga motor yang terparkir dekat halte bus, "Ngapain kamu di sini?! Nggak mungkin tunggu bus, kan?" tanya Nuria sebal.
"Temani kakak tunggu bus." Lelaki itu malah cengengesan.
"Saya nggak pernah minta kamu temani saya!" sebal Nuria.
Lelaki itu melihat ke seluruh halte bus dan memang keadaannya cuma Nuria satu-satunya yang duduk di sana, "Saya nggak mau menyesal orang yang saya kenal diculik orang karena duduk sendirian di halte bus ini."
"Saya bukan anak SD, saudara Sastra!" Nada suara Nuria meninggi, pikirannya sudah mumet dan lelaki ini datang tidak membawa kesan yang baik.
"Kamu kenapa tiba-tiba ada di kawasan rumah saya?" Sastra malah semakin mendekatkan wajahnya.
Nuria terdiam sebentar kemudian dengan cepat dia menjauh, "Bukan urusan kamu!" Nuria mengarahkan pandangannya ke tempat lain.
Suasana kembali hening, "Kakak tahu nggak kalau jam segini bus sudah tidak lewat sini? Bus terakhir itu sekitar jam tiga, kak." Nuria kaget sementara Sastra menahan tawanya.
"Kalau kakak bersikap baik, saya antar kakak pulang deh." Nuria menatap jengkel Sastra yang memasang wajah menggoda.
"Sastra? Ngapain di sini? Nungguin aku pulang yah?" Malah seorang gadis menginterupsi mereka berdua.
Nuria dan Sastra menatap gadis itu yang ternyata Lodya, "Wah maaf nih senior, tumpangan saya sudah ada yang isi, duluan yah." Nuria masih menatap sebal Sastra tapi Sastra sudah menarik tangan Lodya.
"Bye, bye senior ..." Sastra melambaikan tangan ke Nuria yang tidak dipedulikan sama sekali oleh gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisi-Sisi Dewi (Mini Fiction)
RomanceAku mungkin terlahir sebagai anak yang kurang beruntung di muka bumi ini. Aku terlahir sebagai anak yang merenggut nyawa ibuku, untung saja ayahku sangat mencintaiku. Sampai aku dewasa, kehidupanku berjalan hanya dari beberapa surat yang aku dapatka...