Abshari Nuria Rahmatiani
20 Tahun
"Apa mencintai memang sesakit ini?"
Ikrar Sastra Yogiswara
20 Tahun
"Aku memang goblok! Maafin aku ..."
****
Hari sudah menunjukkan jam setengah lima sore sebenarnya tapi gadis ini malah berjalan sendirian di pemakaman itu. HP-nya terus berdering tapi tidak sedikit pun ada keinginannya untuk mengangkat telepon itu. Kalau bukan dari supirnya pasti dari papanya atau orang-orang disekitarnya yang sudah kelimpungan mencarinya.
Entah dia dirasuki setan iblis apa sampai dia memilih berjalan ke pemakaman ini yang jaraknya sangat jauh dari kampusnya. Walau menggunakan kendaraan hanya sekitar 10 menit tapi ini dia berjalan kaki sudah pasti dia akan terkapar sampai di pemakaman itu. Benar saja, dia menyandarkan dirinya disebuah makam dengan pahatan nisan yang indah, makam mamanya.
"Ma, Nuria capek ..." Gadis itu mengadu pada sebuah batu, pada sebuah nisan.
Untung saja suara burung menanggapi rengekannya tapi sepertinya itu tidak cukup, "Kenapa harus aku, ma? Kenapa kita harus membiarkan papa menemui wanita itu lagi?" teriaknya walau keheningan tetap menyelimuti tempat itu.
Rupanya mama Nuria tidak ingin pertanya-pertanyaan anaknya tidak terjawab, setelah menyuruh burung untuk menjawab, dia menurunkan hujan untuk menjawab anaknya itu, "Apa sakit, ma? Apa sakit selama ini bukan menjadi orang yang paling dicintai papa?" Dan bersamaan dengan hujan yang turun, Nuria berani mengalirkan air mata yang sedari tadi dia tahan.
"Akhir-akhir ini aku merasa papa telah menemukan wanita itu, ma. Papa pulang malam, lebih betah berada di kantor dan jarang menjemputku. Alasannya karena aku sudah besar, aku sudah berumut 20 tahun! Kalau aku tahu begitu lebih baik aku tidak sampai di umur 20 tahun supaya papa tetap menganggapku anak kecil, supaya mama tidak membebankanku dengan cinta masa lalu papa," isak Nuria sedih.
Nuria meraba nisan itu, "Apa sakit ini yang mama rasa bertahun-tahun ketika tahu bukan mama di hati papa? Aku mulai merasakan itu dan itu sakit, ma, aku mau mama."
Kepala Nuria mulai pening mungkin karena dia yang melewatkan makan siang dan malah memutuskan berjalan kaki sejauh ini ditambah lagi hujan yang mengguyurnya, "Aku ingin egois dengan tidak mengindahkan keinginan mama tapi aku tahu kalau papa sudah menderita membesarkanku dari kecil seorang diri. Aku ingin papa tahu kalau aku sangat mencintainya tapi apakah harus dengan seperti ini?! Aku tidak mau membagi papa dengan siapapun, ma!"
Hujan terus membasahi tempat itu, seolah dia juga ikut bersedih atas kesedihan yang dirasakan Nuria. Ikut memeluk Nuria walau kedingin yang tercipta adalah oleh karena dirinya sendiri. Setidaknya Nuria tidak merasa sendiri di pemakaman itu, hujan itu berhasil menemani Nuria.
***
"Kak, cokelat panas dari mama." Timmy masuk ke kamar kakaknya yang sedang berkutat menatap hujan dari jendelanya.
Senyum tergambar di pipinya, "Terima kasih, Timmy sayang." Adeknya juga tersenyum karena kakaknya itu.
"Eh tunggu dulu, kamu pulang naik apa tadi? Maaf kakak tidak bisa jemput soalnya Lodya numpang motor kakak." Sastra mengingat kalau adeknya tadi sempat menelpon dirinya akibat terjebak hujan di sekolah.
Timmy melipat tangannya dan memasang muka sebal, "Kalau bukan kakak baik hati tadi mungkin Timmy benar-benar kebahasan karena kakak!"
"Kakak baik hati? Jangan pulang sama orang sembarangan!" peringat kakaknya.
"Bukan orang sembarangan kok, dia sepupu kakak kelasku dan aku sebenarnya tidak kenal baik dengan kakak kelasku itu. Tapi kakak itu baik sekali, dia mau memberikan tumpangan sampai mengantarku ke rumah padahal kita baru bertemu. Kakak seharusnya juga baik seperti itu, kalau ada orang yang butuh tumpangan harus dibantu, siapa tahu dia memang sangat butuh." Panjang lebar Timmy bercerita malah membuat Sastra beranjak dari kursinya dan pergi secepat kilat, meninggalkan Timmy yang bertanya-tanya.
***
Sastra mengendarai mobilnya dengan sangat pelan, menyusuri jalanan yang sekiranya ada halte bus, "Tidak mungkin dia pulang naik bus, bus selesai beroperasi di sekitar sini jam tiga tadi lalu ke mana dia?"
Hatinya mulai tidak tenang, dia merasa harus menemukan gadis yang dia tinggal di halte tadi. Sampai Sastra tiba-tiba menghentikan mobilnya dan memicingkan matanya, dia menemukan gadis itu tergeletak di kursi halte dekat pemakaman. Dengan gerakan cepat dia turun dari mobilnya.
Belum sampai ke halte bus itu malah seseorang yang lebih duluan mengangkat tubuh gadis yang terkulai lemah itu. jantung Sastra berdebar tidak karuan, melihat tangan Nuria yang tergantung lemah membuatnya merapalkan segala macam doa agar gadis itu tidak kenapa-napa.
"Ada apa? Nuria, kamu kenapa?" Berakhirlah Sastra dengan seluruh badannya yang basah kuyup akibat hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisi-Sisi Dewi (Mini Fiction)
RomanceAku mungkin terlahir sebagai anak yang kurang beruntung di muka bumi ini. Aku terlahir sebagai anak yang merenggut nyawa ibuku, untung saja ayahku sangat mencintaiku. Sampai aku dewasa, kehidupanku berjalan hanya dari beberapa surat yang aku dapatka...