[S W E E T H U R T]
.
.
.Duduk di bar dengan gelisah, lampu redup seakan menambah suasana hati yang suram. Ia menyesap sampanye dengan gerakan cepat dan canggung, seolah mencoba mencari pelarian dalam setiap tegukan. Gelas kristalnya seakan semakin berat di tangannya, dan ekspresi wajahnya yang tegang mencerminkan kekacauan dalam pikirannya. Dia menatap kosong ke depan, merasa terasing di tengah keramaian bar yang ramai, berusaha keras untuk menemukan sedikit ketenangan dalam kerumitan emosinya.
Gun mengangkat tatapan matanya dari gelas sampanye yang sudah setengah kosong. "Jenn," katanya, suaranya sedikit serak. "Aku tidak yakin ada kata-kata yang bisa menjelaskan bagaimana rasanya saat ini."
Gun menghela napas panjang, menatap gelas sampanyenya seolah ingin melihat jawabannya di sana. "Aku merasa seperti terjebak dalam sebuah pusaran," katanya dengan nada putus asa. "Setiap kali aku mencoba bergerak maju, aku malah kembali terjebak dalam kenangan dan perasaan yang menyakitkan. Aku merasa seperti tidak bisa melarikan diri dari semuanya."
"Kau tidak pernah membuat keputusan seburuk ini sebelumnya. Apa yang ada dalam pikiranmu?"
Memangnya apa. Tapi kemudian Gun menyadari bahwa untuk pertama kalinya dalam lima menit ini, Jennie sudah berhenti berbicara dan mengharapkan jawaban pada saat ini juga.
Hanya ada satu hal yang bisa Gun katakan.
"Aku menginginkannya. Aku tahu kedengarannya gila, tapi sejujurnya aku tidak bisa menahan diri. Aku bahkan tidak ingin menahan diri. Kau seharusnya tau dia bukan hanya sekadar mantan kekasihku, Jenn. Walaupun hanya 8 bulan berjalan, sangat membekas di segala memoriku." meringkuk di sudut sofa dan mendesah. "Rasanya otakku ingin pecah, memikirkan hal ini."
Jennie menatap Gun dengan mata sama lelahnya memikirkan masalah Gun, Jennie seakan mencari kejujuran di dalam kata-katanya. "Jadi, ini semua karena mantamu itu?" tanya Jennie, perlahan mengeluarkan nada skeptis dari suaranya. "Kau bilang ini membuatmu gila, tapi apa sebenarnya yang kau cari dengan semua ini?"
Jennie gusar karena diamnya Gun. "Kau tidak bisa memiliki keduanya."
"Hanya satu," katanya mutlak.
Gun menghela napas panjang, seakan mencoba menenangkan pikiran yang berlarian. "Mungkin aku hanya mencari kepastian," jawabnya. "Kepastian bahwa aku masih bisa merasa, bahwa aku masih sangat berarti untuknya. Mungkin ini adalah cara untuk merasakan kembali sesuatu yang pernah terasa begitu nyata, begitu hidup."
Jennie merasakan ketegangan yang hampir bisa dipotong di udara. Ia merapatkan bibirnya, mencoba mengendalikan emosinya. "Jadi, kau harus memilih antara mengatasi masa lalu dan menjalani masa depan," katanya, suaranya dipenuhi dengan kekecewaan dan keputusasaan. "Kau tidak bisa terus-menerus terjebak dalam kenangan lama dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Ini bukan tentang apakah kau masih mencintai mantanmu, tapi tentang bagaimana kau menghadapi hidupmu sekarang."