JANGAN MENJADI SILENT READER
TINGGALKAN JEJAK KALIAN ⏬⏩
.
.
.
"Andai kamu tau perasaan aku, Na"~••^_^••~
"Ceritain ke gue, kenapa lo bisa di sana malem-malem sama Nesta?" pinta Mesya begitu keduanya duduk di halaman depan rumah sakit.
Dengan pikiran yang mencoba untuk tenang, Nara menceritakan semuanya dengan jelas. Bagaimana obsesinya laki-laki itu, hingga ancaman-ancaman bodoh pun dilontarkan.
Tidak hanya ancaman, tetapi juga tindakan. Tindakan bodoh yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit. Untung saja Nara bergerak cepat menelpon sahabatnya itu untuk menjemputnya, jika tidak, kemungkinan nyawanya tidak bisa lagi diselamatkan.
Tindakan bodoh itu kini membuatnya terbaring di rumah sakit dengan status kritis tak sadarkan diri. Tidak hanya Mesya, Neithen dan Varen juga keluarganya pun datang untuk menjenguknya.
"Gila! Gue gak nyangka kalo dia bakal secinta itu sama lo, sampe ngelakuin hal bodoh kek gitu." Komentar Mesya cukup heran setelah mendengar semua pernyataan yang Nara ceritakan.
"Gue pikir dia juga cuma bercanda, ternyata beneran udah bawa pistol. Kalo tau gitu mungkin gue nggak bakal pergi seenaknya. Meskipun nggak gue terima setidaknya masih bisa gue omongin baik-baik, nggak gini. Gue nggak tau gue harus bilang apa kalo keluarganya nanya." Wajahnya tampak gelisah dan khawatir tentunya. Terlebih kondisi laki-laki masih belum sadarkan diri.
"Lo tenang! Gak usah panik! Ini bukan salah lo," ucap Mesya mengusap lembut punggung Nara, mencoba untuk menenangkan.
"Badan gue bener-bener lemes pas denger suara tembakan itu. Gue takut kalo sampe dia mati saat itu juga. Gue takut, Mey!" Rasa takutnya terdengar jelas oleh Mesya dari suaranya yang gemetar.
Mesya merangkulnya seraya berkata, "Dia masih hidup. Gue yakin dia pasti sadar. Lo jangan takut! Gue pasti selalu nemenin lo."
Nara hanya menangis di pelukan Mesya. Ketakutan itu ada sekalipun bukan dia pelakunya. Sebagai penyebab yang tak bersalah, Nara tetap merasa bersalah.
"Ayo!" ajak Mesya setelah duduk beberapa saat.
Mereka kembali ke dalam rumah sakit untuk mengetahui kondisi laki-laki itu. Nara berjalan menunduk dirangkul Mesya. Di sana, di depan ruang ICU anggota keluarga dan kedua temannya tengah duduk menunggu.
Di kursi panjang itu Mesya mengajaknya untuk duduk. Namun baru beberapa detik saja, Venny menghampirinya seraya berbisik, "Boleh saya bicara denganmu sebentar?"
Nara tampak cukup tegang. Namun dengan senyuman tipis dia mengangguk. Mesya mencoba membuatnya yakin dengan memberinya senyuman, sehingga ia pun bangkit dan berjalan mengikuti Venny.
"Saya ibunya Nestapa, ingin sedikit bertanya sama kamu. Bisa kamu ceritakan bagaimana kronologinya?" tanya Venny begitu sampai di halaman belakang rumah sakit.
Nara menampakkan ekspresinya yang gugup dan sedikit merasa takut. Namun dengan yakin ia berkata, "Sebelumnya saya minta maaf sama Tante, saya nggak tau kalo Nesta membawa senjata tajam."
"Bagaimana ceritanya dia sampai melakukan tindakan bodoh itu?"
"S–saya ... Tante ... saya minta maaf, saya nggak tau kalo dia bakal melakukan itu." Nara mengatakannya cukup terbata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih) END
Romance"Dia taat pada Tuhannya, tapi Tuhan yang berbeda" -Narafa "Orang yang kucintai harus terluka karena orang yang mencintaiku. Aku terjebak dalam permainannya." -Narafa