15

45 9 10
                                    

JANGAN LUPA DIVOTE CERITANYA YAAA
BERIKAN KOMENTAR KALIAN ⏬⏩
.
.
.
"Senyuman manis di sebuah lorong"

ლ⁠(⁠◕⁠ω⁠◕⁠ლ⁠)

Tamparan keras yang membekas di pipinya bukanlah luka yang diberikan dengan sengaja. Tentu ada sebab yang membuatnya harus sadar akan kesalahan. Gadis itu menatap dirinya pada pantulan cermin, sesekali ia mengusap lembut pipinya dengan bibir tersenyum. Senyumnya tampak lebar, namun diiringi air mata.

Anehnya, kali ini Nara tidak membenci perlakuan ayahnya. Ia merasakan bagaimana sakitnya dibentak, dihina, dimaki, bahkan ditampar. Namun semua itu tidak menimbulkan kebencian dalam dirinya, melainkan penyesalan.

Apa yang dilontarkan sang ayah membuatnya sadar akan kesalahannya. Tidak ada kemarahan jika tidak ada kesalahan. Nara mengerti akan hal itu.

Tangannya mulai mengepal kuat, tatapannya tajam penuh kebencian. Lelaki yang berhasil membuatnya menyesal bukan lagi sang ayah, melainkan dia. Dia yang berada di balik semua kemarahan ayahnya.

"Terima kasih untuk hari ini. Gue seneng banget. Tapi jangan lupa ... besok lo harus datang! Kalo enggak ... lo tau sendiri akibatnya. Gue harap lo nggak main-main soal ini sama gue, Na."

Kalimat yang dilontarkan Nesta sebelum dirinya pulang, selalu menjadi bayang-bayang dalam benaknya.

"Tidak ada waktu untuk keluar besok!"

Begitupun dengan kalimat yang dilontarkan oleh Arthur. Dua kalimat yang membuat Nara tidak mendapatkan ketenangan. Dengan sangat keras ia berteriak sembari mengacak-acak meja riasnya.

"Gue benci lo, Nesta! Gue benci lo!" teriaknya diiringi air mata yang terus mengalir.

Ruangan kamarnya menjadi kelam akibat suara tangisan. Semua perkataan Arthur terus menghantuinya.

"Haruskan aku menyayangi anak sepertimu?"

Kalimat itu begitu menyakitkan bagi Nara. Namun kenyataannya itu adalah benar.

"Anak sepertiku nggak pantas untuk disayang. Aku tau itu, Pa," gumamnya lirih, terduduk lemah menatap pada foto kecilnya. Foto dirinya yang tengah digendong Rena dan Arthur.

Suara ketukan pintu terdengar di tengah isakan tangis yang memenuhi ruangan. Sekali pun Nara tak memperdulikan usikan suara itu. Ia masih duduk lemah dengan tatapan sendunya.

Suara pun terus mengusik telinganya. Ia segera menyeka air mata menggunakan jari-jemarinya, lalu bangkit dan membuka pintu. Senyuman pun ia pasang di bibirnya yang manis itu. Melihat seorang gadis dengan rambut panjangnya, senyuman Nara kian pudar.

Ya, gadis itu adalah Mesya. Nara pikir itu adalah Arthur atau Rena, sehingga dalam keadaan hancur pun ia harus memasang senyuman. Namun, karena yang datang adalah sahabatnya, maka senyumnya kembali ia tarik.

Apa pun itu, tidak ada yang perlu disembunyikan dari Mesya.

"Lo kenapa, Na?" Mesya bertanya seraya menutup pintu kamar.

Dengan wajah datarnya Nara duduk di atas kasur. Mesya tentu penasaran sehingga ia duduk di sebelahnya—menatap mata Nara yang tampak sembab.

"Semua gara-gara Nesta. Gue benci dia. Kalo bukan karena dia gue gak akan tau sakitnya ditampar seorang ayah." Nara berucap dengan tatapannya yang tak sedikitpun dialihkan pada Mesya.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang