18

34 7 10
                                    

JANGAN LUPA DIVOTE DULU!
HARGAI AUTHOR, JANGAN MENJADI SILENT READER!
.
.
.
"Jangan pergi, kita belum berbicara"

༎ຶ⁠‿⁠༎ຶ(⁠ ⁠・ั⁠﹏⁠・ั⁠)༎ຶ⁠‿⁠༎ຶ

Di halaman depan rumah sakit, Arthur mengajak Neithen untuk mengobrol. Di sebuah kursi panjang, mereka duduk sejajar. Angin malam cukup menusuk tulang-belulang yang hanya dilapisi kulit, tanpa pakaian tebal atau bahkan sekedar menutupi pergelangan tangan.

Baju yang Arthur kenalan adalah kemeja dengan lengan pendek, sementara pemuda di sampingnya menggunakan kaos polos berwarna hitam.

"Neithen. Saya masih ingat nama kamu," ujar Arthur memulai percakapan. "Bahkan nama kamu saya temukan di setiap buku anak saya," paparnya.

Memang bukan lagi hal yang mengejutkan bagi Neithen, karena ia tahu bahwa Nara menyukainya. Namun tetap saja ia merasa tidak menyangka jika gadis benar-benar menyukainya.

"Saya tahu jika Kasih mencintai kamu, tapi saya tidak tahu kalau kalian memiliki hubungan." Arthur berucap lagi, kali ini membuat Neithen ingin menyahut, dan menjelaskan bahwa semua itu tidaklah benar.

"Mungkin kamu tahu jika saya sangat ketat dalam mendidik Kasih. Saya bahkan sudah memberitahunya untuk tidak terlalu fokus pada laki-laki, namun saya rasa gadis itu tidak bisa. Tapi satu hal yang belum saya tahu, laki-laki yang mencintai Kasih. Apa kamu mencintainya?" Arthur bertanya, membuat Neithen tertegun kebingungan.

"Jika kalian memiliki hubungan tanpa sepengetahuan saya, saya hanya ingin memberitahu, untuk saat ini saya sedang meminta Kasih untuk fokus pada kuliahnya. Saya tidak ingin hal bodoh seperti ini terjadi lagi," jelas Arthur.

"Jika kamu ingin menemuinya, temui saya lebih dulu. Minta waktunya pada saya, jangan membawanya pergi tanpa izin saya."

"Saya tahu Kasih pergi dengan temannya, Nesta. Tapi saya juga tahu kalau gadis itu ingin menemui kamu," kata Arthur lagi.

Sejauh ini Neithen masih tak membuka suara. Ia cukup bingung untuk menjelaskannya bahwa, apa yang Arthur pikirkan tidaklah benar.

"Saya tidak akan menyalahkan siapa pun. Kalian ataupun kasih semuanya sama-sama bodoh. Tapi itulah cinta. Akal tidak akan berfungsi ketika orang sedang jatuh cinta. Jadi, apa pun yang terjadi dengan Kasih, itu adalah kesalahannya." Arthur kembali bercakap dengan kalimat terbaiknya.

Neithen hanya terdiam mendengar kalimat yang dilontarkannya. Kali ini ia mengakui bahwa itu benar.

"Saya minta maaf, mungkin karena saya Nara harus mengalami hal seperti ini," ucap Neithen, pada akhirnya membuka suara. "Setelah ini, saya berjanji akan membuatnya mengerti."

"Saya tidak melarang anak saya untuk mencintai kamu, dan saya juga tidak melarang kamu untuk mencintainya. Karena sebelum kalian berada di fase ini, saya sudah lebih dulu merasakannya. Tapi, untuk saat ini saya sedang membatasinya untuk tidak terlalu banyak bermain. Saya harap kamu mengerti," jelas Arthur sekali lagi.

"Saya mengerti. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Apa pun itu, saya berterima kasih karena Om tidak mempermasalahkan ini. Semoga Nara cepat pulih kembali," kata Neithen dengan kalimat bijaknya.

"Cukup doakan yang terbaik untuknya."

Percakapan singkat antara dua lelaki itu berakhir ketika Arthur kembali ke dalam. Neithen pun bangkit dan mengikutinya.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang