13

64 12 3
                                    

VOTE DULU YAA!
FOLLOW JUGA BOLEH BUAT BACA CERITA AKU YANG LAIN:)
.
.
.
"Foto di balik semangat"

~^•_•^~

"Makasih," ucap Nara memasang senyuman semanis mungkin, padahal hanya untuk menutupi kebohongan.

"Gue ketemu Bokap lo dulu. Boleh, kan?" tanya Nesta yang baru saja membuka helmnya.

Gadis itu tampak panik. Pasalnya, ia membawa Nesta ke kosannya yang sudah tidak lagi ditinggali. Dan Nesta tidak mengetahui itu sama sekali. Dengan polosnya ia mengantarkan sang gadis dan berharap bisa bertemu kedua orang tuanya.

"Ee ... Papa ... Papa masih kerja keknya," jawab Nara, berpura-pura melihat jam tangan agar kebohongan tak sedikitpun dicurigai. "Kalo nggak sibuk, pasti jemput gue, kan?"

"Oh, ya udah, deh."

"Next time in syaa Allah. Gue minta maaf, bukannya gue—"

"Nggak papa," potong Nesta memakluminya. "Ya ... gue balik duluan," pamitnya, kembali mengenakan helm. "Oh iya, nanti lo atur waktu buat ketemu nyokap gue."

Nara tersenyum tipis dibarengi dengan anggukkan kecil.

Ia bernapas lega begitu pria itu sudah lenyap dari pandangannya. Setelah memastikan semua aman, ia lalu melangkah mencari angkutan umum.

Sampai di rumah suasana masih sama. Tidak ia temukan kehangatan di setiap sudut ruangan. Senyuman pun akhirnya kaku untuk ia berikan pada mama.

Rena tengah duduk dengan bukunya, tidak ada senyum sambutan yang ia berikan pada Nara. Entah seperti apa kondisi hatinya, sehingga basa-basi pun tidak terdengar ketika Nara mencium punggung tangannya.

Nara tentu menatap heran, namun hanya beberapa detik saja. Merasa takut menganggu, ia pun melangkah menuju kamarnya. Tepat saat tangannya memegang handle pintu, Arthur datang dan memanggilnya, "Kasih."

Nara menahan tangannya untuk membuka pintu, lalu menoleh pada sang papa.

"Dengan siapa kamu pulang?" tanya Arthur, kini berdiri di hadapan Nara.

Memasang wajah malas, Nara menjawab, "Sendiri."

"Laki-laki itu?"

"Nggak ada, Pa."

Arthur memperhatikannya untuk beberapa detik, lalu memberikan selembar kertas seraya berkata, "Ini kunci kesuksesan buat kamu."

Sebelum meraihnya, Nara menatapnya sejenak. Sambil menerimanya, ia bertanya, "Apa ini?"

Kertas yang dilipat itu kemudian dibukanya. Di sana tertera dengan jelas jadwal aktivitas lengkap dengan waktu dan aturannya. Tatapan Nara perlahan beralih pada sang papa.

"Jika cita-citamu ingin tercapai, ikuti aturan itu. Jika kamu malas, jangan berharap kamu bisa menjadi seorang pengusaha," kata Arthur memaparkan.

Tidak ada kata yang keluar dari mulut Nara. Ia hanya menggunakan telinganya untuk mendengar apa yang sang ayah katakan.

"Foto ini penting bagimu, kan?" Foto-fotonya tadi pagi kembali Arthur tunjukkan. "Jika kamu mencintainya, cukup jadikan dia sebagai penyemangatmu. Jangan sampai rasa sukamu menghancurkan masa depanmu," lanjutnya menasihati.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang