Telepon

11 0 0
                                    

⚠️Warning ⚠️
Part ini sedikit mengandung keuwuan!!!
Baper tanggung sendiri
•-•

Jam dinding menunjukkan pukul 13.00 , Ziya dan Laila masih asik berbincang, mengingat masa-masa sekolah mereka berdua. Dua perempuan yang bertemu di bangku SMP membuat hubungan persahabatan itu timbul diantara Ziya dan Laila.

Menjadi siswi berprestasi dan memiliki paras yang cantik, membuat kedua gadis ini sering di lirik siswa laki-laki. Tetapi, tidak ada laki-laki yang berani menemui orangtua Ziya maupun Laila. Dua gadis ini menganggap, jika seorang laki-laki serius, ia akan menemui orangtuanya secara langsung untuk meminta restu.

Hingga suatu saat, seorang laki-laki sejati yang merupakan kakak kelas Ziya di SMA dan juga Kakak tingkat di kampus, menjadi laki-laki pertama yang menemui orangtuanya langsung. Ia pemilik nama Alvaro Galen Pratama, berhasil merebut hati orangtua Ziya dan menjadi suami Ziya.

Sedangkan Laila, hingga saat ini belum menemukan tambatan hatinya. Sudah beberapa laki-laki bertamu kerumahnya dan menyampaikan niat baiknya, tapi belum ada yang pas menurutnya. Ia mencari laki-laki yang setara dengannya.

Menurutnya, mencari pasangan yang setara itu penting, agar tidak merendahkan pasangannya dikemudian hari, memahami situasi satu sama lain dan tidak menyepelekan hal-hal kecil tentang pasangan. Demi kesehatan mental dan keselamatan kehidupan pernikahan kedepannya, mencari yang setara memanglah penting menurutnya.

"Tapi jangan kelamaan milihnya, La. Bundamu pasti udah pengen gendong cucu." ujar Ziya, sedikit memberi saran tentang kisah percintaan Laila. Seringkali Laila curhat tentang laki-laki yang datang kerumahnya dan tidak jarang Ziya mendengar kejelekan laki-laki yang mendatangi Laila.

"Ya gimana, dong? Belum waktunya aja kalik, Zi. Lagian aku belum siap mentalnya, kalo harus ngadepin mertua yang mulutnya gitu." ledek Laila. Keduanya tertawa kecil, Ziya memahami perkataan Laila.

"Kamu kenapa ngga dateng waktu acara nikah aku, sih? Kan, aku jadi kiciwi." ujar Ziya sembari memanyunkan bibirnya.

"Sorry banget, Beb. Aku harus ke Singapura buat pengobatan Bunda, aku ngga mau buat kamu khawatir dihari pernikahanmu." jelas Laila.

"Hah? Jadi alasanmu kemarin, soal kamu mau interview kerja di luar negeri itu bohong? Kenapa ngga jujur aja, sih?"

Laila menarik napas panjang, wajahnya terlihat sedih. "Maaf, ya? Aku tau, kamu tipe orang yang perduli banget sama orang lain, sampe bisa ngorbanin diri kamu sendiri. Aku udah sering minta tolong kamu, Zi."

Ziya menatap wajah Laila yang menunduk, ia meraih kedua tangan Laila dan menggenggamnya. "Kamu itu sahabat aku dari kecil, jangan pernah berpikir bakal nyusahin aku. Lain kali, kamu harus cerita kalo ada masalah apapun, ya?"

"Makasih ya, kamu udah mau jadi sahabatku." ujar Laila sembari memeluk Ziya.

So sweet banget, deh.

Tring.... Tringgg.... Tringgg...

Pandangan Ziya beralih pada ponsel miliknya yang berdering. Terlihat nama Alvaro di layar ponselnya.

"Hallo, Mas? Ada apa?"

"Hallo, sayang. Gimana kabarmu sama Mamah?"

"Alhamdulilah, baik. Mas, gimana kerjaannya? Kapan pulang? Jangan lama-lama, dong. Aku kangen, nih."

"Hahaha, iya-iya. Nggak lama, kok. Kabar baik nih, aku ngga nyampe seminggu. Mungkin tiga hari lagi aku pulang, sayang. Tunggu aku yah, istriku yang cantik."

Mendengar itu Ziya tersipu malu, walaupun sudah beberapa bulan menikah Ziya masih terlalu malu dipanggil seperti itu oleh suaminya. Apalagi pembicaraannya didengar oleh Laila.

"Ih, Mas. Malu aku, ada temanku disini."

"Oh, ada temanmu? Coba besarkan volume telepon ini."

Ziya menuruti perintah suaminya. "Sudah, Mas."

"Sayangku, manisku, istriku tercintaaa! Akuu kangen kamuuuuu, pengennnn ciummm sekaraangg jugaaa! Aaaaaa, Cayaangggg! Manaaa kiss nyaaa!?"

Pipi Ziya memerah mendengar kalimat Alvaro, ia membeku seperti disihir. Laila yang mendengar itu juga merasa syokk teramat dalam. Laila sedikit menyesal sudah main kerumah sahabatnya yang sudah menikah. Ia pikir, karena suaminya sedang diluar kota, ia bisa terbebas dari keuwuan pasutri satu ini.

"Astaghfirullah." ujar Laila dengan suara yang pelan, tapi masih terdengar oleh Ziya.

"Sayang? Kok diem? Kamu ngga papa, kan sayang? Yaudah, nanti malem jangan lupa, ya?"

"Hah? Nanti malam? Ngapain, Mass?"

"Akuu kangen kamuu, sayangg. Aku tutup dulu, yaa. Masih ada kerjaan nih. See you, baby."

"Okeee, Suamiku."

Ziya membalikkan badannya, terlihat Laila tengah menutupi telinganya dengan bantal. Seakan tidak ingin mendengar percakapan Ziya dan suaminya. Hal itu membuat Ziya terkekeh, ia langsung menyarankan Laila, agar segera menikah dan melakukan hal yang sama dengannya.

"Nanti, deh. Jodohnya masih otw, hahaha."

"Haha, okey ditunggu. Btw, kamu kerja dimana sekarang, La?" ujar Ziya sembari menuangkan secangkir teh hangat di gelas Laila.

"Pengangguran. Aku resign dari kantor yang kemarin, gara-gara atasanku kurang ajar banget, Mbak." lirih Laila. "Hampir aja aku kena pelecehan."

"WHAT?"

"PELECEHAN?"


Bersambung....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIA atau AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang