Laskar Impian (Bagian Empat)

122 22 5
                                    

Nada violin itu berputar lagi dalam mimpi ... dan terbangunlah aku sekitar pukul 05:34 pagi.

"Ah dimana ini? Lapangan? Aku terbangun di lapangan sekolah? Gilak, gua belum pulang dari kemarin, dan sekarang udah jam segini pula. Yaudah lanjut sekolah ajalah." Kataku pada diri sendiri.

Namun, ada yang kurasa aneh. Tembok sekolah masih berwarna hijau. Setahuku sudah diganti menjadi putih dari tahun lalu.

Aku menyadari luka - luka tubuhku juga tidak ada. Padahal jelas kemarin aku terluka parah. Apa yang terjadi sebenarnya? Aku berlari ke beberapa ruangan kelas untuk melihat daftar nama murid dan kemudian kebingungan.

"Ini kan nama murid yang udah jadi alumni." Aku melihat nama anggota geng Maltador yang harusnya sudah alumni masih tertera di daftar nama murid.

Aku berlari ke kelasku yang lama. Apakah mungkin? Namun belum sampai sana, aku dikejutkan oleh bayanganku di cermin.

Gaya rambut ini, baju kebesaran, celana gombrong, dan sepatu pantofel yang kudapat dari menang lomba. Aku berlari ke kamar mandi, membasuh wajah muda itu dan memandangi detailnya. Apa aku kembali pada masa lalu? Atau sebenarnya aku masih kelas sepuluh kemudian bermimpi sudah kelas dua belas dan baru kembali ke dimensi dunia yang sebetulnya?

Jika memang semua mimpi, ini terlalu nyata. Aku tak tahu mana yang mimpi dan nyata karena warna hitam putih seakan menjadi kopi susu yang membaur di zona abu - abu dan tak aku mengerti.

Baiklah ... bagaimana jika aku putuskan membohongi diri? Aku masuk ke kelas seolah tak terjadi apa - apa dan tak berpikir apapun. Dalam pendirianku semua yang terjadi sebelumnya hanyalah mimpi dan inilah yang kenyataan.

Namun pelajaran di hari itu menyadarkanku bahwa materi yang tercantum dalam papan tulis sudah pernah kuikuti dan ehm ... nilaiku tak bagus karena aku baru mengerti rumusnya setelah bab pelajaran berlanjut pada materi baru.

Tapi kali ini aku sedikit yakin bisa mengerjakannya. Tak masalah ini mimpi atau nyata karena yang penting tidak boleh ada kegagalan dua kali.

"Georgio, coba pecahkan permasalahan kalkulus diferensial yang Bapak tulis ini." Perintah Pak Rustam.

Aku ingat Georgio tidak dapat menyelesaikan soal ini. Dia digantikan Arini dan barulah soal itu terjawab. Jika memang bisa memperbaiki masa depan, maka ini kesempatanku maju ke depan dan menjawab pertanyaan itu secepatnya, berhubung aku ingat jawaban Arini waktu itu dan sempat mencatatnya sebelum dihapus di papan tulis.

Georgio beranjak dari bangku nya. Dia menelan ludah dan berkeringat sampai kutangnya tembus pandang karena tegang.

Pak Rustam memberikan spidol namun dia hanya kaku di depan papan putih besar itu. Akhirnya dia mencoba menulis sesuatu dan lekas duduk kembali setelah itu.

"Hhh ... hampir saja tadi." Ucapnya pelan.

Pak Rustam mengerinyitkan alis seiring beberapa murid pintar senyam - senyum sendiri terutama Arini sang Juara Kelas.

"Ini salah hei!!!" Pukas Pak Rustam yang terkenal killer."Ini Aljabar bukan Kalkulus. Jawabannya juga salah! Gimana sih kau, Georgio? Yaudah wes Bapak minta Ar ..."

Belum sempat beliau memanggil Arini, aku mengangkat tangan.

"Ada apa Laskar? Mau izin ke toilet?" Tanya Pak Rustam.

"Enggak pak!" Ucapku tegas.

"Hmmm ... lalu mau izin ngapain?" Pak Rustam mengernyitkan alis lagi.

"Sa ... saya izin ingin menyelesaikan soal itu, Pak." Ucapku meneguhkan.

Aku berdiri dan semua anak seketika memandang tajam terutama Arini yang dongkol karena merasa menjawab pelajaran tersulit adalah hak veto miliknya seorang.

Kalkulus MinusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang