Kecanduan

158 3 0
                                    

Setelah kejadian aku menemukan Kayla saat hujan, sepertinya Arland belum menemui Kayla lagi. Bagus, sih. Hanya saja seperti ada yang mengganjal.

"Selera makan lo lagi bagus?" Aku sedikit khawatir melihat Kayla menghabiskan dua-tiga tangkup roti pagi ini, dan sepertinya dia masih belum cukup sampai menghabiskan susu cokelat dari gelasku.

Syukurnya tingkah Kayla tidak terlihat orang tuaku yang lebih dulu pamit. Mereka tidak mempertanyakan keberadaan Kayla semalam, atau sebenarnya sudah tahu jika Kayla bersamaku.

"Cih! Orang tua apaan yang malah nyuruh anaknya tidurin orang lain?" Aku jadi mengingat perkataan Mama dulu, mengenai lebih baik Mama tahu aku ngehamilin anak orang daripada kabur sama cowok.

"Lo ngomong apaan?" Pertanyaan Kayla merebut atensi.

"Sebesar apa perut lo ampe ngunyah terus?" Aku nanya balik, kaget melihat Kayla memasukkan banyak camilan dari pantry ke dalam ranselnya. Ini anak kesurupan apa gimana, sih?

"Enggak tau! Gue laper! Apa lo mau gue makan juga?" Oke, itu bukan pertanyaan kalau diucapkan Kayla, terutama karena gaya sewotnya yang ....

"Lo lagi enggak PMS kan, Kay?" Nebak aja, sih. Biasanya dia bakal beralasan seperti itu setiap lonjakan emosi menjelang haid.

"Maybe?" Kayla keluar ruang makan lebih dulu. Langkahnya cepat sampai aku harus mengejar di lorong menuju mobil.

Dia tinggal di rumahku semenjak kami kepergok tidur bersama. Bukan ikatan pernikahan karena Mama bilang kami harus menunda sampai urusan sekolah selesai. Lagian, aku sendiri masih bingung dengan hubungan yang kami jalani.

"Kay!" panggilku, berharap dia menahan pintu mobil terbuka sampai aku mengambil alih.

"Apa?" Dia membuka bungkus salah satu makanan ringan tepat di depan wajahku. Sialan.

"Asli! Lo enggak takut gemukan makan segitu banyak?" Jadi sewot, kan?

Semalam memang aku mengeluhkan lengan Kayla yang terlampau kurus, tapi enggak sedrastis ini juga balas dendam makannya.

"Berisik lo, ah!" Kayla mengabaikanku dengan masuk mobil lebih dulu. Bukan cuma makanan, berbotol-botol air mineral pun ditandaskannya di sepanjang perjalanan sampai tiba di sekolah.

Tumben aja enggak ngegodain lagi. Dia terlalu sibuk dengan urusan perut.

"Balik ke mode nerd, lo?" Kayla mengetuk kacamata yang kukenakan sebelum berlari keluar dari mobil lebih dulu.

Memang aku biasanya begini. Yah, belakangan sesekali dilepas karena menghadapi Kayla bisa mematahkan gagang kacamata. Namun, hari ini benar-benar berbeda. Drastis.

Di waktu istirahat, Kayla malah menggigil. Pucat. Kulitnya dipenuhi keringat dingin saat kusentuh.

"Kayla kenapa, Ken?" tanya salah seorang teman sekelas kami.

Jelas dia nanya aku. Dikiranya aku dekat sama Kayla semenjak beredar kilasan video mesum dulu. Hanya kilasan yang kemudian tenggelam, entah efek kekuasaan siapa yang menyebabkan kejadian itu sekadar tahu aja.

"Entah," jawabku saat kembali ke tempatku di deretan depan, baris kedua tepatnya.

Kayla dalam 45 derajat sudut dua baris di belakangku. Dia tampak memeluk diri, menegang, lalu ambruk ke lantai.

"Kay!" teriakku spontan, refleks menggendongnya menuju unit kesehatan meski pelajaran berikutnya baru dimulai.

"Lo kenapa sih, Kay?" Aku mempertanyakan lagi meski Kayla tidak mungkin menjawab.

Kayla tidak bisa disebut sadar atau pingsan, dia terus menggumam dan menggeleng.

Di unit kesehatan sekolah, Kayla meluruskan tubuhnya dengan begitu kaku. Lalu, entah apa yang dilakukan petugas ruangan yang aku tahu seorang dokter perempuan sampai Kayla bisa lebih tenang. Aku hanya fokus melihat wajah Kayla.

"Temennya meriang?" tanya si dokter santai setelah memasang selang infus yang ditusukkan pada permukaan punggung tangan Kayla.

Aku mengangguk ragu, karena saat berangkat dari rumah, Kayla lincah banget, apalagi kejadian semalam. Enggak usah ditanya lagi.

"Apa selera makannya meningkat atau berkurang drastis?"

"Apa hubungannya?" Aku mengernyit heran dengan pertanyaan dokter selanjutnya. Namun segera kujawab, "Ya, Kayla lebih banyak makan dari biasanya."

Bisa kudengar si dokter mengeja nama yang aku sebut barusan sambil mencatat di lembaran yang dia bawa berlapiskan papan. Kemudian diserahkannya surat rujukan disertai tanda tangan perizinan padaku.

"Apa ini?" Lebih-lebih aku terkejut karena mendapati permohonan pemeriksaan darah terkait kandungan obat tertentu ke salah satu laboratorium klinik swasta.

"Periksa saja. Mungkin teman kamu mengonsumsi obat batuk atau obat untuk gangguan depresi salah dosis?" Dokter muda ini terdengar sok tahu.

"Kamu perlu memanggil orang tuanya." Dia bicara lagi.

Aku menggeleng, lalu terduduk pada kursi di samping ranjang yang Kayla tempati sambil menggenggam tangannya. Bergetar dan berkeringat dingin, Kayla menggigil.

"Penggunaan obat antidepresan di antara siswa sudah menjadi hal biasa." Dokter itu menarik kursi lain ke seberangku untuk diduduki sambil menulis sesuatu di papan bawaannya. "Orang tuanya mungkin tahu mungkin juga tidak."

Penyalahgunaan obat-obatan?

Kusandarkan punggung, berusaha mengurangi ketegangan sebelum bilang, "Ini klinik sekolah, kan? Apa perlu Anda mempertanyakan sedetail itu?"

Lembaran di tangan jelas sekali menunjukkan pemeriksaan penggunaan narkoba. Hal yang baru aku sadari, apa mungkin Kayla kecanduan sesuatu?

"Sekolah seperti ini bukan berarti bebas dari peredaran narkoba. Kamu bisa mencariku jika perlu bertanya." Senyumannya sebelum pergi jadi mencurigakan.

Aku lebih curiga lagi dengan hubungan Kayla bersama Arland. Apa mungkin?

Ini bukan cemburu, ya. Perasaanku pada Kayla belum seintim hubungan fisik kami. Belum. Aku tidak menampik kemungkinan lebih dari itu, tapi memang belum ada perasaan lebih dari teman yang tidur bersama.

"Kenan?" Kayla memanggil. "Haus."

Dokter tadi kembali sebentar menyerahkan sebotol air mineral, dan aku curiga sebenarnya dia tahu gejala apa yang Kayla alami tanpa menyebutkannya. Surat permohonan pemeriksaan tadi .... "Kayla?"

Aku sempat ingin mempertanyakan. Kayla sudah menoleh saat meneguk air dari botol enam ratus mili itu sampai tandas, dan berujung aku urung bertanya.

"Kenapa lo?" Tawa ringannya menular, meski terasa getir.

Aku meletakkan botol kosongnya di nakas dan menawarkan, "Lo masih mau lanjut ke kelas atau istirahat di rumah?"

"Gue laper," tukas Kayla singkat. Wajahnya masih sangat pucat diselingi keringat yang terus bergulir dari pangkal rambutnya.

"Oke, kita ke kantin atau mau izin pulang?"

"Pulang."

Setelah dokter yang aku panggil melepaskan jarum infus dari punggung tangan Kayla, aku menggendong Kayla menuju mobil. Biasanya supir memang menunggu jika tidak ada perintah lain dari Mama.

Kayla belum mau turun dari pangkuan meski kami berada dalam mobil. Lengannya menggantung di leherku, napas terengahnya membelai kulit yang tidak tertutupi kerah seragam.

Dia tidak sedang menggoda.

Aku beranikan bertanya meski Kayla terpejam. "Lo make, Kay?"

Dia belum tidur, hanya menutup mata.

"Gue ga bakal ninggalin lo asal lo jujur, Kay."

Kayla masih belum menjawab. Dia melekatkan penciuman di kerah seragamku, dan basah. Kayla menangis?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kayla Grace [21++]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang