"Kayla!" Teriakan familier terdengar dari luar, lebih tepatnya dari ambang pintu yang ternyata tidak tertutup.
Aku tahu karena refleks meneleng, melihat wanita bergaun pesta serba gelap itu melotot ke arah kami. Tepatnya melotot pada Kayla yang berhenti menunggang di atasku
"Ibu ...." Terlihat kepanikan di wajahnya saat menarik selimut untuk menutupi kami, termasuk kepalaku. "Lo sembunyi!"
"Kay! Kay!" Aku mau protes, tapi telanjur dibungkam dengan busa bra di dalam kegelapan.
"Buka ini!" Teriakan itu terdengar menggelegar di kepalaku bersama tarikan selimut. "Bukan kamu!"
"Bu ...," protes Kayla.
Tarikan selimut berikutnya, aku tercerahkan. Bukan dalam artian sebenarnya, lebih seperti lampu sorotan tertuju padaku dari semua mata.
Aku sendiri tercengang, ketahuan. Gawat.
"Kenan?" Ibunya Kayla sampai menutup mulut dengan kedua tangannya, bahkan nyaris jatuh kalau saja enggak ditangkap sama pria yang mengikutinya. "Tante kira kamu—"
Aku menggeleng. Mau bicara, tapi harus ngeluarin benda dari mulutku yang ... oh, malah makin membuat ibunya Kayla melotot. "Tan, ini ...."
Kedua tanganku menangkup, ingin meminta maaf, tapi sulit mengeluarkan suara akibat sorotan kecewa.
"Mas, tolong, ponsel aku." Wanita itu menjulurkan tangan pada pria di sampingnya dengan telapak tangan menengadah.
"Mas?" Pertanyaan Kayla cukup menjelaskan jika dia pun terkejut dengan keberadaan pria yang sepertinya belum pernah kulihat. "Dia siapa, Bu?" tunjuk Kayla.
"Bukan saatnya bahas mengenai Ibu!" tolak ibunya Kayla. Dia menunjuk kami bergantian, kemudian menelepon sambil memerintah kami sebelum pergi. "Lima menit! Ibu tunggu di depan, dan kalian harus sudah berpakaian!"
Tadi aku mikir apa? Menelepon? Ibunya Kayla akan menelepon siapa?
Ah, masalah!
Begitu pintu kamar ditutup dari luar, aku dan Kayla bergegas mengumpulkan apa pun yang bisa dikenakan. Apa pun. Termasuk celana dalam yang sempat tertukar.
Harusnya aku berhenti melayani godaan Kayla saat dia mengenakan pakaian tidur yang lengkap tadi dan siap berpamitan, tapi ... ciuman di antara kami bukan lagi sekadar ciuman biasa. Setelah semua yang kami lakukan, rasanya ciuman itu lebih seperti pemantik sesi panas berikutnya.
Basahnya tiap kecupan, refleks bersambung sentuhan. Mencium Kayla sama dengan mengundang pertemuan alat reproduksi.
Ah, ledakan hormon sialan.
Melihatnya selesai berpakaian aja, aku mati-matian menahan diri untuk tidak melucutinya lagi. Setiap gerakan Kayla serupa adegan lambat yang erotis di berbagai tontonan striptis, dan membayangkannya kembali hanya akan membuatku berada dalam masalah pelik.
"Kenan Prahardjo?" Panggilan yang pertama terdengar saat aku dan Kayla menyusul ibunya ke ruang tamu, itu jelas suara mamaku yang datang dan melotot tidak percaya. "Anak Mama yang begini melakukan perbuatan amoral, Jeng?" Pertanyaannya jelas tertuju pada ibu Kayla.
Aku bergegas mendekat, meraih kedua tangan Mama dan menggeleng takzim. "Ampun, Ma! Kenan—"
"Hust! Biar Mama yang urus ini!" bisik mamaku sebelum maju ke depan meja tempat orang tua Kayla duduk. "Jadi, bagaimana anak saya harus bertanggung jawab, Tuan?"
"Ma ...." Bujukanku ditolak Mama dengan acungan telapak tangan kanannya.
Otakku seketika menyusun sederet fakta berujung tanya, tanggung jawab seperti apa yang harus aku lakukan di usia seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kayla Grace [21++]
RomanceKamu temanku, dengan timbal balik tentunya. Ketika kamu meminta, saat itu juga kita tak lagi sama. Tubuhmu bagai candu yang terus mengundang, sedang aku ... tak lagi mampu menganggap semua baik-baik saja.