Chapter 4

8 4 0
                                    

Ga pernah dalam sejarah keluarga ini, Abang tiba-tiba bersikap dingin sama aku. Ya aku maklumin itu karena sifat Abang yang sekarang emang salah aku. Tapi rasanya hampa didiamkan oleh Abang yang udah akur banget sama aku, malahan akur banget sampe-sampe kita lupa kapan terakhir kali kita buat berantem. Tapi berantem kala itu ga seperti berantem sekarang yang tiba-tiba Abang cuek. Aku rasa Bunda ngerasain hal itu juga.

"Ga biasanya diem Za!" Ceplos Bunda membuat acara sarapan pagi ini memanas.

"Lagi males aja Bun." Jawab Abang santai.

"Bun, Bah Zizi berangkat dulu ya assalamu'alaikum!" Pamit ku sambil mengecup punggung tangan Abah dan Bunda, hanya mereka berdua.

"Abangnya ga disalimin?" Tanya Bunda, oh mungkin rasanya itu adalah sebuah sindiran bagiku.

Tanpa menggubris, aku kembali setengah berlari keluar dari rumah.

***

"Zi kemarin kamu dibully sama circle itu ya?" Tanya Mia setengah berbisik karena di depan ada Pak Johan, guru bahasa inggris ter-killer sedang menatap senang handphonenya sambil tersenyum lebar. Kurasa baru kali ini aku melihat senyum Pak Johan. Ku pikir Pak Johan jarang tersenyum.

"Woi Zi!" Panggil Mia refleks sambil menepuk meja. Sontak, semua tatapan tertuju pada bangku kamu, dan Pak Johan dengan tatapan tajamnya myeringai kami yang hanya bisa tertunduk. Hm ralat, bukan kami tapi hanya aku yang tertunduk, Mia dia malah menantang tatapan siswa lain tanpa menyadari bahwa Pak Johan sedang geram olehnya.

"Aww" Ringisnya pelan karena perutnya sengaja ku cubit agar ia tak berulah lagi.

"Mia, you know saya ga suka kebisingan?" Tanya Pak Johan masih dengan tatapan mautnya.

"Tugas you emangnya sudah final?!" Lanjutnya.

Tanpa menggubris Mia langsung mengerjakan tugas yang diberikan Pak Johan kembali.

***

"Hi-hiks A-abang Zizi dibully huwaa!" Rengek ku dengan menenteng sebelah sandal dan masuk ke ndalem tanpa alas kaki.

"Astaghfirullah Zizi! Dibully siapa Zi?" Tanya Abang yang kala itu berumur 15 tahun sambil menggendongku dengan sigap dan meletakkan tubuhku perlahan ke sofa.

"Sa-sama Naura." Jawab ku dengan lebih tenang. Entah mengapa, setelah berada di dekat Abang, rasanya aku jauh lebih tenang.

"Kenapa sampe nyeker begini?" Tanya Abang lagi seolah belum puas oleh jawabanku.

"T-tadi Zizi baru pulang dari madrasah atas, tiba-tiba Naura lempar sandal Zizi ke got jadinya Zizi nye-nyeker." Jawabku masih dengan tersedu-sedu.

"Ya Allah kasian Zizinya Abang, ya udah nanti Abang tegur Naura ya!" Ujar Abang dengan manis.

***

"Mikirin apa Zi?" Tanya Bunda sambil ikut duduk di sofa dengan menyimpan piring berisikan martabak cokelat di pahanya.

Memikirkan masa lalu yang indah bersama Abang sewaktu aku masih berada di pesantren Abah, memang membuatku merasa lapar, sehingga tak menjawab pertanyaan Bunda, seolah-olah duniaku kini teralihkan oleh martabak cokelat yang seakan menyuruhku memakannya.

Bagaikan malaikat yang dengan sigap mencatat amal manusia, Bunda menyodorkan piring itu dan dengan sigap pula aku membawa sepotong martabak cokelat itu.

"Emm yummy! Enak banget Bun! Beli dimana?" Tanyaku antusias, tapi ini sungguh luar biasa enak.

"Ga tau tuh Abang kamu yang beli." Jawab Bunda sambil menunjuk Abang yang sedang memainkan ponselnya di kursi pantry.

Mendadak aku jadi tak mood lagi memakan martabak ini, kusimpan martabak sisa gigitan ku itu pada piring kembali, dan beranjak pergi meninggalkan Bunda yang siap mengeluarkan kata-kata seputar etika saat makan. Maklum saja, Bunda memang selalu mengoreksi setiap kesalahan etika yang aku dan Abang lakukan, karena beliau kan guru PAIBP plus istri dari seorang pimpinan pesantren. Jadi Bunda tak mau anak-anaknya malah tak tahu tatakrama.

"Aduh Bunda ngoceh mulu kenapa sih?" Tanya Abang dan yang kudengar hanyalah suaranya, karena aku sudah berada di ambang pintu karena menuju kamar. Sontak aku berhenti untuk menguping.

"Ih kurang ajar ya kamu!" Seru Bunda mendengar Abang yang begitu berani mengatai orang tua seperti itu.

"Habisnya, percuma Bunda ngoceh sama Zizi, ga bakal di dengerin! Dia kan orangnya keras banget Bun, kayak batu!" Ujar Abang mengklarifikasi ucapannya.

Hah? Baru pertama kali ini aku dikata-katain sebegitunya oleh Abang. Okey, aku ga bisa dikatain begitu, tunggu aja nanti aku buktiin ke Abang kalau aku ga sekeras pikirannya.









reader's maaf banget hari ini kayaknya author up nya dikit banget, tapi ga papa kan dimaafin? ayolah saling memaafkan ya...
selain saling memaafkan boleh dong saling berbagi daging qurbannya xixixi...

‼️jadikanlah Al-Qur'an sebaik-baiknya bacaanmu!

First Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang