Chapter 12

7 3 0
                                    


~cepat atau lambat, itu semua akan terjadi~



Malam yang hangat di mana malam itu adalah terakhir Abang tidur di rumah ini, aku menghela nafas panjang di halaman belakang rumah sambil menatap langit yang dipenuhi bintang.

Begitu cepat waktu berputar hingga aku telah menuju titik kesepian yang sebenarnya setelah Abang menikah nanti dan menetap di Bandung.

"Uhuk uhuk!" Kudengar itu adalah suara batik dari arah belakangku, ternyata itu adalah Abah yang berdiri di ambang pintu yang menghubungkan halaman belakang dan dapur.

"Abah!" Seruku sambil menghampirinya dan menuntun Abah untuk duduk di kursi yang sejak tadi aku sendirian duduk disana.

"Kenapa Abah keluar? Malam ini dingin lho bah." Tanyaku dengan cemas. Jelas saja aku cemas, karena aku tahu Abah seminggu kebelakang tengah sakit. Waktu Abah pulang dari pesantren diantar Ustadz Kiki, dia sudah pucat pasi.

"Abah mau menemani Zizi!" Tukas Abah seolah meyakinkan aku kalau dia baik-baik saja. Padahal yang kulihat sekarang Abah begitu lesu.

"Abah kembali ke kamar aja, Zizi juga bentar lagi ke kamar. Zizi anterin Abah ke kamar ya?" Pinta ku pada Abah tak tega melihat kondisi beliau.

"Abah bosen di kamar terus Zi!" Tegur Abah.

"Tapi kan Abah sakit Bah!" Tukasku. Abah hanya menggeleng cepat dan batuk kembali. Aku jadi benar-benar tak tega sekarang.

"Zizi mau nerusin pesantren kan?" Tanya Abah mengalihkan topik. Aku tau sebenernya Abah dari kemarin ingin bertanya soal ini, tapi akunya saja yang selalu menjauh. Karena aku juga belum tau akan meneruskan sekolah kemana.

"Ga tau bah." Jawabku pasrah.

"Abah gak memaksa kalau kamu maunya sekolah negeri, tapi apa kamu gak mau merasakan lagi sekolah diiringi dengan kegiatan pesantren?" Tanya Abah memastikan.

"Zizi gak tau bah." Jawabku lagi dengan menunduk.

"Abah cuma mau bilang, intinya ikuti kata hati kamu Zi, jangan sampai kamu salah langkah." Kata Abah sambil tersenyum.

"Abah sih menyarankan kamu untuk pesantren, tapi kalau kamu maunya sekolah negeri juga ga apa-apa." Lanjutnya.

Kini aku tak bisa menjawab apapun, Abah berlalu menuju kamar tanpa menghiraukan aku yang bernegosiasi dengan isi benakku. Aku sempat menawarkan Abah diantar, tapi Abah malah menolak.

Aku kembali membatin di malam ini. Aku sangat bingung untuk melangkah menuju masa depan. Kalau di tanya aku ingin menjadi apa, ya jelas aku ingin menjadi aktor ternama. Tapi jika di tanya mau melanjutkan sekolah aku belum tau.

Keinginan melanjutkan sekolahku itu ingin sekolah negeri biasa saja. Namun disaat bersamaan juga rasanya aku kangen dengan masa-masa sekolah di pesantren. Ternyata ga semudah itu buat melangkah lebih maju.

Aku membuka layar ponselku berniat untuk menanyakan sesuatu kepada grup WhatsApp Mia, Gina, dan aku.

Aku membuka layar ponselku berniat untuk menanyakan sesuatu kepada grup WhatsApp Mia, Gina, dan aku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
First Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang