Chapter 6

11 1 0
                                    

Aku mau tak mau harus menghilangkan gengsiku hanya untuk mengetikkan kata di aplikasi hijau malam ini kepada Abangku demi reputasiku di depan Abah dan Bunda.

Aku mau tak mau harus menghilangkan gengsiku hanya untuk mengetikkan kata di aplikasi hijau malam ini kepada Abangku demi reputasiku di depan Abah dan Bunda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.























Sudah, percakapan itu hanya berhenti di situ. Abang hanya membaca pesan terakhir dariku tanpa membalasnya.

***

"Jadi maksudnya Bu Jiah kemarin apa Zi?" Tanya Bunda saat kamu tengah sarapan di pagi yang sangat aku ingin hindari.

"Ga bermaksud apa-apa Bun." Jawabku dengan tenang. Mungkin sebagian besar akan tersedak saat mendengar pernyataan itu, tapi aku tidak. Karna aku ratu drama.

"Abah ngerti jaman sekarang udah beda, maka dari itu kamu harus bisa memilih pergaulan." Ujar Abah penuh interupsi. Nah ini dia alasan aku sampai rela mengechat Abang malam tadi.

"Tapi Zizi nolak kok Bah." Jawab Abang mewakili ku.

"Bener Zi?" Tanya Abah meyakinkan.

"Iya bah, lagian ngapain juga Zizi nerima Bah, Bun! Lagian Zizi masih kecil, cita-cita Zizi belum tercapai." Jawabku dengan tenang dan berusaha meyakinkan Abah kalau aku tidak seburuk apa yang dia kira. Kalau tidak, auto langsung pesantren tahun depan.

"Alhamdulillah," Ucap Bunda dan Abah bersamaan.

"Emm kalau gitu Zizi berangkat ya Bun, Bah!" Pamitku karena tak ingin berlama-lama di situasi seperti ini. Tentunya sambil mengotak-atik tas ku yang ku simpan di belakang kursi meja makan.

"Mau di anterin Abang ga?" Tawar Abang sebelum aku salam ke pada Abah dan Bunda.

"Ga usah." Jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya.

"O iya Zi, Bunda baru inget! Tadi pagi mamahnya Gina nitip surat ijin ke kamu soalnya hari ini mereka mau ke Bandung. Jadi kamu harus berangkat ke sekolah sama Abang aja, kalau sendiri jalan kaki pasti cape plus bosen!" Seru Bunda sambil mengasongkan amplop berisi surat.

"Kalau sama Abah?" Tanyaku. Itu pertanda bahwa aku malas jika harus bersama Abang.

"Abah lagi ga enak badan Zi!" Tegur Abang.

"Ayo!" Tanpa aba-aba, Abang mendorongku pelan untuk keluar rumah. Mau tak mau aku harus menurutinya.

"Cepet sembuh Bah! Assalamu'alaikum!" Seruku dari ambang pintu.

***

Di dalam mobil aku hanya bisa pasrah sambil mengotak-atik ponselku yang tak ada pesan apapun, sebisa mungkin aku pura-pura sedang berbalas pesan dengan teman di aplikasi hijau, padahal nyatanya aku hanya mengetik pesan tidak jelas dan mengirimnya ke nomorku sendiri.

"Cape gak pura-pura chatting ngan sama temen?" Tanya Abang. Oh ralat ini adalah sebuah sindiran bagiku.

Aku menghentikan kegiatan tidak jelas ku itu sambil memasukkan handphone ke dalam tas.

"By the way menurut kamu Abang cocok ga sama Ladya?" Tanya Abang tiba-tiba.

"Cocok" Jawabku singkat.

"Asik! Abang jadi ga sabar bulan depan nikah sama Ladya!" Seru Abang seperti anak kecil.

"Berarti nanti kamu sendirian dong di rumah? Haha kasian banget!" Ejek Abang.

"Jangan nangis ya kalau nanti Abang jarang pulang ke rumah! Soalnya Abang nanti tinggal di rumah Abang dengan istri tercinta!" Kelakarnya.

What?
Seriusly? Abang punya rumah?

"Emang Abang punya rumah di mana? Sombong banget!" Tanyaku masih dengan nada biasa-biasa.

"Di Bandung lah! Alhamdulillah kemaren Abang udah beli rumah hasil uang jajan Abang selama kuliah! Dua tingkat lagi!" Serunya penuh semangat.

Ku akui, Abang pandai dan rajin menabung. Jujur aku pun pandai dan rajin menabung, malahan mungkin uang tabunganku lebih banyak dan bisa dibelikan rumah lima tingkat sekaligus. Karena aku dan Abang tipe orang yang lebih suka menabung ketimbang membeli barang branded, tapi uang tabungan Abang lebih sering terkecok karena Abang selalu membayar uang kuliahnya sendiri. Tentunya sifat kami ini tidak lepas dari didikan Bunda dan Abah yang selalu mengingatkan kamu untuk menabung dan sedekah.

"Ciee pasti sedih ya?" Goda Abang.

"Enggak kok, biasa aja!" Ketus ku.

"Tapi kalau kamu nanti kamu mau lanjut SMA di Bandung sambil nge kos juga boleh kok, biar bisa sama-sama terus kita!" Usul Abang yang membuatku nyaris tertawa terbahak-bahak. Apalagi ini? Kenapa dia mengusulkan usulan yang tidak masuk akal? Ya kalau aku harus jauh-jauh dari Abah dan Bunda! Sedekat apapun aku dengan Abang, tapi aku tidak bisa kalau harus jauh-jauh dari Abah dan Bunda.

"Yah buang-buang biaya!" Jawabku mencoba tuk tetap ketus.

"Ya udah sih terserah kamu Zi, tapi kamu ini udah mau lulus SMP lho, kamu ada niatan lanjutin dimana?" Tanya Abang.

Hmm. Sepertinya ini adalah pertanyaan yang paling membuatku pening. Karena kau belum tahu akan melanjutkan kemana. Prinsip mencari ilmuku hanya simpel, yakni terserah mau kemana aja yang penting ga pesantren!

"Belum tau" Jawabku sambil bercermin di spion, membenahi jilbabku yang agak berantakan akibat menyeder di jok.

"Abang sih ngusulin pesantren." Kata Abang.

"Apalah Bang, Zizi kan udah bilang ga mau pesantren!" Tegasku.

"Yaudah lah terserah kamu Zi, tapi Abang yakin pasti nanti kamu bakal tau segimana pentingnya pesantren!"








assalamu'alaikum reader's...
aku up nya lebih cepet karena kayaknya kuota ku dah mau habis.. jdi aku utamakan up dulu buat kalian :)
kalian pelit banget dah buat ngasih vote! seriusly kalian jahat! aku jadi ga semangatnya kalau kayak gini..

ayo dong vote! apa susahnya sih tinggal pencet doang aelah :(

‼️ jadikan Al-Qur'an sebaik-baiknya bacaanmu!

‼️ jangan jadi pembaca gelap!

Follow Instagram:
@zvaq_3_at
@firts.brother_

kalian kan udah aku kasih virtual.. masa kecilnya ga mau vote sih :(
kecewa berat ini mah!

First Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang