Semua alur dalam cerita ini adalah karya asli Wolfie. Tidak ada menjiplak, atau meniru karya orang lain.
Kalau ada kesamaan, bisa jadi hanya sebuah kebetulan, atau terinspirasi dari hal yang sama.
Selain Yibo, dan Xiao Zhan, tokoh lainnya adalah fiktif, dan cerita ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata. Alias, fiksi.
Jadi mohon kebijaksanaannya dalam membaca.
.
.
.
Urusan Sean lebih cepat dari perkiraan. Keluar dari kantor, Sean menuju minimarket untuk membeli beberapa keperluan sehari-hari, dan cemilan untuk Alan. Setelah membayar semua belanjaannya, dia pergi ke taman, duduk di salah satu bangku. Menikmati makanan ringan yang tadi dibeli, sambil memperhatikan anak-anak memberi makan merpati.Semuanya nampak indah, tenang, dan damai. Sampai pandangannya tertutup sosok tinggi, bermantel hitam, yang berdiri tepat di hadapannya. Sean memicing untuk memastikan siapa sosok itu.
Sean melotot, ketika manyadari siapa sosok yang berdiri di hadapannya. Dengan wajah tanpa ekspresi, tubuh tinggi tegap, dan pakaian serba hitam.
"Lama tidak bertemu, Zhan." Mantan suaminya, Zhu Wangyi.
.....
Enam tahun lalu, Henan, China.
Perayaan meriah berlangsung di rumah mewah Keluarga Zhu. Ornamen berwarna merah, dan emas menghiasi setiap sudut rumah. Meja makanan penuh dengan berbagai macam hidangan mewah, dengan aroma menggugah selera. Uang kertas dibagikan dalam jumlah besar. Para tamu memuji kemewahan perayaan ini.
Perayaan untuk pernikahan anak tertua Keluarga Zhu, Zhu Wangyi.
Kedua mempelai duduk di pelaminan. Mengenakan pakaian merah dengan hiasan emas yang serasi. Mempelai perempuan tersenyum bahagia hingga matanya menyipit, menyambut setiap sapaan tamu yang datang silih berganti memberi berkat. Mempelai pria meski tidak tersenyum lebar, matanya nampak bahagia dengan perayaan ini. Kedua orang tua masing-masing mempelai juga terlihat bahagia, berbincang dengan tamu-tamu penting mereka, berpindah dari satu meja ke meja lain.
Berbeda dengan keriuhan di luar. Dalam salah satu kamar, seorang pemuda sedang sibuk menata pakaiannya ke dalam koper. Wajahnya nampak suram, dengan mata bengkak karena menangis. Telinganya bisa mendengar keriuhan di luar. Semakin keras suara mereka, hatinya semakin sakit. Seperti ditusuk ribuan jarum setiap detik.
Mata coklat yang biasanya penuh dengan cahaya kehidupan, sekarang redup penuh kesedihan. Wajahnya yang selalu ceria, dengan senyum manis menghias bibirnya, kini hanya ada wajah lelah. Bahunya merosot tanpa daya. Setiap langkah yang dia lakukan seperti berjalan di atas duri.
"Ge, kau benar-benar akan pergi?" tanya seorang remaja perempuan yang baru saja masuk.
Si pemuda hanya diam, tidak memberi reaksi, atau jawaban. Dia masih terus memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Sampai remaja perempuan itu menahan gerakan tangannya. Menggenggam tangannya yang nampak rapuh.
"Zhan-Ge, mari beritahu Wangyi-ge. Dia tidak bisa mengusirmu begitu saja."
"Xiao-Lian, semuanya sudah berakhir. Kami sudah berpisah. Aku memang sudah tidak ada hak untuk tinggal di sini lagi."
"Tapi, ge. Kau sedang ham—" Sebelum menyelesaikan kata-katanya, bibir remaja itu di tutup dengan jari.
"Tidak perlu ada yang tahu. Aku akan menanganinya sendiri."
"Tapi kau akan pergi ke mana? Bagaimana gege akan mendapatkan uang untuk hidup? Meskipun Wangyi-ge sudah memberikan kompensasi, uang itu tidak mungkin cukup untuk waktu yang lama." Si remaja mulai menangis.
Hanya gadis ini yang menangisi kepergian Sean. Yang lain bahkan tidak lagi menganggap keberadaannya, setelah dirinya bercerai dengan Wangyi. Semua orang bersikap seolah Sean lebih transparan daripada udara.
"Aku akan pergi ke tempat temanku di Seattle. Dia menawarkan pekerjaan, dan rumah padaku. Jadi kau tidak perlu risau."
"Ge, hiks."
Sean memeluk tubuh gadis itu. Tidak ada air mata yang jatuh, dia sudah terlalu lelah untuk menangis. Lebih dari sebulan dirinya mengemis supaya Wangyi tidak menceraikannya, tapi pria itu dengan kejam menuruti perkataan orang tua, dan memilih menikah dengan pilihan keluarganya.
Berjalan menuruni tangga, Sean terasing di tengah keramaian. Semua orang nampak bahagia, melontarkan berkah mereka untuk kedua mempelai. Tertawa, dan bersenang-senang, tanpa mempedulikan sosoknya yang berjalan menyeret koper, hanya ditemani Zhu Lian—adik dari mantan suaminya.
Keduanya berhenti di gerbang belakang rumah. Di sana sudah menunggu taksi yang akan membawa Sean ke bandara. Lian memeluk erat mantan kakak iparnya. Air matanya masih berjatuhan, tidak rela berpisah dengan orang paling baik padanya ini.
"Ge, kalau sudah sampai, kabari aku."
"Aku mungkin tidak akan bisa menghubungimu lagi. Keluargamu pasti akan menutup semua jalur komunikasi kita."
"Maafkan keluargaku, ge. Mereka sudah keterlaluan kali ini."
"Tidak masalah. Semua sudah terjadi. Kalo begitu, aku pergi dulu."
Meski berat, Sean pergi dengan segudang luka. Hatinya berdarah-darah. Tapi tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengobatinya. Menangis pun percuma, orang-orang itu tidak akan menghasihaninya. Mereka malah akan menambahkan garam ke lukanya.
Sean kesakitan, tapi kini, tidak ada sosok yang akan membantu balut lukanya. Tidak ada pelukan hangat yang memberinya rasa aman. Tidak ada rumah yang memberinya kenyamanan.
.
.
.
Wolfie lagi sakit. Kalian jangan lupa makan, dan istirahat, gaez, cuaca lagi gak bagus, bikin rentan sakit.Jangan lupa vote, sampai jumpa next chapter.
Ciao
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting a New Life
FanfictionSean memulai hidup baru bersama putranya setelah perceraian. Namun, mantan suaminya tiba-tiba datang, dan mengajak rujuk. Padahal pria itu sudah menikah dengan orang lain, dan Sean menemukan soulmatenya. Namun ancaman kehilangan putranya, memaksa Se...