Dengan biasa para santri akan memulai harinya dengan Panggilan Subuh yang mana waktu menujukan pukul 04.00 wib dini hari masih gelap ketika suara adzan Subuh yang syahdu menggema di seluruh pesantren, membangunkan para santri dari tidur lelap mereka.
Di kamar asrama yang sederhana, Raka terjaga dengan setengah mengantuk, mendengarkan suara muadzin yang memanggilnya untuk bangkit. Rasanya, setiap kata yang diucapkan membawa makna baru dalam hidupnya yang mulai berubah dirinya sejak tiba di pesantren.
Rizky, teman sekamar Raka, sudah bangun dan bersiap-siap. Dengan gerakan yang cepat dan lincah, ia mengenakan sarung dan peci. “Ayo, Kak Raka. Jangan sampai terlambat ke masjid. Ini hari keduamu, harus bersemangat dari hari kemarin!” katanya dengan senyum yang menyemangati.
Raka mengangguk, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menyelimuti. Dia meraih sarung dan baju koko yang disediakan pesantren untuk para santri baru. Meskipun sedikit canggung, Raka mengikuti langkah Rizky menuju masjid. Udara pagi yang sejuk dan segar menyambut mereka di luar asrama, membawa aroma tanah basah dan embun pagi.
Masjid Nurul falah, dengan arsitektur yang sederhana namun kokoh, berdiri megah di tengah kompleks pesantren. Para santri bergerak masuk, membentuk barisan rapi. Suasana khusyuk dan tenang menyelimuti ruangan. Raka merasa sedikit gugup tetapi juga terpesona oleh kedamaian yang ia rasakan di sini.
Di dalam masjid, Kyai Abdul sudah bersiap memimpin shalat. Wajahnya memancarkan ketenangan dan wibawa. Ketika shalat dimulai, Raka berusaha mengikuti gerakan dan doa yang diucapkan oleh para santri lainnya. Ini adalah pengalaman yang mengharukan dan mendalam baginya. Dalam keheningan dan kesederhanaan Subuh di pesantren, Raka merasakan kedekatan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Suasana Pagi dipesantren yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Usai shalat Subuh, para santri tidak kembali ke asrama. Sebaliknya, mereka duduk dalam kelompok-kelompok kecil di halaman masjid, mengikuti sesi tadarus pagi. Raka, yang masih merasa sedikit terasing, duduk sendirian di salah satu sudut,dan mengamati sekelilingnya meskipun ini hari kedua ia akan beraktivitas raka masih merasa canggung dan tak kerasan.
Hingga datanglah pak Hasan, salah satu pengurus pesantren yang ramah, mendekati Raka dan mengajaknya untuk bergabung dengan kelompok tadarus. “Ayo, Nak. Bergabunglah dengan kami. Tadarus pagi adalah waktu yang berharga untuk memperdalam ilmu Al-Qur’an,” katanya sambil tersenyum.Raka mengangguk dan mengikuti Pak Hasan. Di kelompok itu, ia bertemu dengan beberapa santri lain yang segera memperkenalkan diri dengan ramah. Ahmad, seorang santri yang berasal dari Jawa Tengah, dan Jamal, yang juga berasal dari kota besar seperti Raka. Percakapan mereka ringan namun hangat, memberikan Raka perasaan diterima dan mulai terjalin benang-benang persahabatan.
Suara bacaan Al-Qur’an yang dilantunkan dengan tartil memenuhi udara pagi yang sejuk. Raka mulai merasa ada kedamaian dalam kegiatan ini. Kata-kata yang sebelumnya hanya terdengar sebagai ritual kini mulai memiliki makna yang lebih dalam. Di balik setiap ayat yang dibaca, Raka merasakan getaran spiritual yang baru ia pahami.
Adapun Kegiatan Belajar yang bisa Menginspirasi dirinya.
Setelah sesi tadarus dan sarapan sederhana di kantin, para santri bersiap untuk kegiatan belajar di kelas. Raka mengikuti teman-temannya menuju ruang kelas yang terletak di dekat masjid. Kelas-kelas ini tidak mewah, hanya berisi meja dan kursi kayu yang sederhana, namun penuh dengan semangat belajar.Ustadz waroq, guru yang selalu penuh energi dan semangat, membuka pelajaran dengan memimpin doa bersama. “Hari ini, kita akan belajar tentang ‘Aqidatul awam’,” ujarnya dengan senyum hangat. “Aqidahtul awam adalah berisi tentang sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah, sifat wajib dan mustahil bagi Rasul, nama-nama Nabi dan Rasul, nama-nama Malaikat dan tugas- tugasnya”
KAMU SEDANG MEMBACA
kisah dibalik Dinding pesantren(terbit vol1)
Novela JuvenilRaka adalah seorang remaja yang dikirim ke pesantren oleh orang tuanya dengan harapan ia mendapatkan pendidikan agama yang lebih mendalam. Awalnya, Raka merasa berat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di pesantren yang serba disiplin dan penuh...