Prolog

65 21 0
                                    

Soerakarta, November 1915.

"Anak kita perempuan," ucap perempuan yang tengah bersandar di ranjang. Meski wajahnya nampak peluh sehabis bersalin, tak sekalipun mengurangi rasa bahagia di hatinya. Ia mencium pucuk kepala bayi itu lantas menyerahkannya pada sang ayah.

Rahardja menepuk kedua tangannya, ia takut kotor sebelum menggendong anaknya. Sedari dekat wajahnya tampak kemerah-merahan, sangat cantik persis seperti ibunya. Lelaki itu mengelus pelan pipi anaknya.

Kegundahan di hatinya selama sembilan bulan 7 hari akhirnya terjawab sudah. Di tengah-tengah penjajahan, ia ketakutan saat Ratih mengandung, takut tidak bisa mencukupi kebutuhan anaknya. Tapi Tuhan seolah menjawab doa-doanya, anaknya lahir dengan sehat dan normal.

Rahardja mengecup kepala istrinya. Cukup lama hingga ia tersadar akan sesuatu.

"Terimakasih karena telah melahirkannya dengan baik, Dik. Boleh Mas memberi nama?" Rahardja menyerahkan bayi perempuan itu pada ibunya.

"Tentu saja. Mas menginginkan namanya apa?" tanya Ratih.

"Sedayu. Sedayu Larasati."

SEDAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang