07. Babak untuk Hidup yang Baru

23 7 0
                                    

Bersama dengan Rahayu cukup membuat Sedayu sadar—bahwa gadis itu jauh daripadanya. Meski hidup bergelimang harta, Rahayu tak pernah benar-benar merasakan bahagia. Terlebih statusnya yang lahir dari seorang sundal. Alias ber-ayah yang kaya raya juga tak cukup—sebab ia bukanlah anak yang ditunggu-tunggu. Kehadirannya justru mengganggu.

Beberapa jongos setelah mengetahui cerita itu—ikut menjaga jarak. Selalu ada alasan mengapa pria berkumis oranye itu bersikap dingin dan berbicara sekenanya. Terkadang terselip nada ketus dan ketidaksukaan yang ditujukan terang-terangan. Sekian tahun lamanya hingga ia terbiasa.

Tengah hari, ketika keduanya berjalan-jalan. Rahayu bertanya, pertanyaan yang suatu saat akan menuntun Sedayu pada perubahan. Untuknya dan masa depan.

"Kamu bisa membaca, Sedayu?"

"Bisa, tentu saja."

Anggukan Sedayu cukup membuat Rahayu terperangah. Anak itu kemudian bersorak setelahnya.

"Aku akan bilang pada mama kalau begitu." Rahayu sumringah.

"Kenapa memangnya?"

"Kupikir kamu akan sering bersama mama." Rahayu menyatukan alisnya. "Mama sering keluar bersama lik Joko mengunjungi rekan-rekannya. Jadi kupikir setidaknya kamu bisa membaca ...," jedanya. "dan menulis."

Rahayu berjalan lebih cepat darinya. Mereka menyisiri rumah mencari Ninda yang entah kemana perginya. Sedayu mengikuti gadis itu dari belakang. Pikirannya bercabang, teringat dengan surat kabar yang sering ia baca, teringat pada bungkus tempe yang ia tulis. Sedayu teringat hal-hal yang berkaitan dengan keterbatasan—yang bagi pribumi sepertinya, Sedayu telah melampaui itu.

"Kita mau kemana? Aku harus kembali ke gubuk dan menyusun barang-barangku."

"Sebentar, sedikit lagi sampai."

Kemudian langkah Rahayu terhenti pada pintu kamar jati yang berukuran dua kali lebih tinggi dari tubuhnya. Sedayu baru menyadari bahwa jalan yang menuntun mereka pada ruangan ini dipenuhi bokor-bokor melati. Pantas saja wanginya menyeruak kemana-mana.

"Pintu ini selalu terbuka, mengapa sekarang ditutup?" Rahayu terlihat kesal.

"Nyai mungkin sedang sibuk, Rah."

"Tidak, ruang kerjanya selalu terbuka lebar. Apa perlu aku mengetuknya?" Cetusnya.

"Coba saja, tapi aku gak bisa menemanimu sekarang. Aku harus kembali ke gubuk, menyusun baju-bajuku dan barang-barang yang mungkin akan kubawa."

"Aku temani," ucapnya tanpa pikir panjang.

"Gak usah, Rahayu. Kamu disini saja, menunggu Nyai."

Anak itu mengeluh keras. Dahinya mengernyit tak terima.

"Untuk apa? Ayolah, mama juga tidak ada di rumah. Aku bosan disini."

Sedayu melirik Rahayu. Tatapannya terlihat memohon. Baru seminggu ini mereka dekat, tapi Rahayu bertingkah seolah sudah mengenalnya lama. Sedayu menganggukkan kepalanya ragu. Dia tidak bisa menolak permintaan Rahayu. Rahayu merangkulnya senang.

"Biar cepat tidak usah jalan, kita sewa dokar saja."

***

"Mbak Nimas! Rahayu pergi dulu, ya!"

Suara Rahayu menggelegar ke seisi rumah. Anak itu menyuruh Sedayu berlari terlebih dulu takut ada yang menahan mereka. Sejak matahari membumbung tinggi di atas sana, para jongos tak lagi membersihkan rumah—melainkan beralih untuk menyiapkan makan siang. Memang waktu ini yang dimanfaatkan Rahayu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEDAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang