05. Dua Hal yang Bersinggungan

30 7 0
                                    

Rona biru gelap membentang di atas sana sebagai tanda si fajar datang. Ayam-ayam mulai memekik—bersahut-sahutan, memecahkan sunyi. Kekosongan itu mulai menggelayuti dirinya sejak kemarin. Hampa sebab ditinggalkan orang terkasih adalah suatu hal yang teramat mengecewakan. Menyakitkan. Tenaga bak terkuras habis, sekujur badan pun seperti dihajar bolak-balik.

Dan kemudian tersadar, bahwa setelah ini semua tak lagi sama. Gulungan kertas lecek nan amis itu takkan sampai kepada tangannya, tidak ketika si ringkih yang memberikan. Tidak pula ia menghidu wangi singkong rebus setiap pagi dan jejak kaki bekas sawah di samping gubuk ikut menghilang sirna.

Ia rindu dan Sedayu berusaha menepisnya.

Maka tak pelak ketika ingatannya berlabuh pada petang kemarin. Bagaimana perempuan itu tersuruk-suruk menghampiri. Mulanya ia sempat asing. Tapi ketika Ninda memperkenalkan diri, barulah ia sadar. Benarlah ia Nyai Ninda. Kembang desa yang sering dielu-elukan banyak pemuda—kini bertuan seorang pelancong dari Nederlands—pemilik tanah yang namanya tersohor di Hindia Belanda.

"Sedayu. Tolong buka pintu. Ini aku."

Sang empu begitu percaya diri. Ia tak mengetuk sama sekali, sadar ini terhitung pagi buta baginya—takut mengganggu sekitar—padahal tidak, sebenarnya.

"Sedayu." Kali ini suaranya sedikit mengeras.

"Siapa?" Wajah ketus itu menyembul, kemudian raut terkejut menyusul setelahnya. "Ivan?" Cicitnya.

"Tidak mengizinkanku masuk?" tanya Ivan. "Aku membawakan sarapan," Ivan mengangkat rantang, menunjukkan betapa inisiatif dia. "Kau pasti belum makan," ujarnya.

"Untuk apa kesini, Ivan?"

Ivan menatap perempuan itu lamat-lamat. Sedayu berantakan. Pagi ini perempuan itu carut-marut dengan wajahnya yang sembab. Anak rambutnya berantakan tersapu angin. Kabar pribumi menyelundupkan hasil panen tersebar, membuat para petinggi murka. Informasi yang ia dapatkan tersebut beredar dari mulut ke mulut. Para kompeni membantai mereka. Muncung-muncung senjata itu kembali terangkat kemudian memberondongi orang-orang tak bersalah.

Salahkah Ivan bila ia berada di pihak terjajah? Ia memaklumi tindakan penyelundupan itu. Mulai dari ratusan hingga jutaan gulden sudah mereka dapatkan, mungkin panen kemarin tidak seberapa. Kalau hasilnya tidak menjanjikan, tidak mungkin kompeninya bertahan lama di Hindia Belanda.

Perasaan bersalah menggerogotinya ketika bersitatap dengan Sedayu. Ini salahnya. Kalau saja ia berada di tempat dan tak harus menggantikan rekannya bekerja yang terjangkit malaria, pasti ia bisa menolong.

"Hanya mampir sebentar."

"Tidak bisa. Saya harus pergi sekarang."

Di mata Ivan, Sedayu memang kelihatan buru-buru. Tapi ia tau itu adalah salah satu alasan untuk menghindarinya lagi. Ivan mestinya sadar sejak Sedayu memberi jarak. Bagi orang-orang sepertinya, Sedayu tak lebih dari seorang budak. Ketimpangan yang dirasakan begitu nyata. Dan itu melahirkan sikap pongah bagi penjajah seperti mereka.

"Kalau begitu ...," Ivan menyerahkan rantang. "Sarapanlah terlebih dulu." Ia tersenyum. Bibirnya membentuk bulan sabit di atas sana.

Sedayu terpaku. Perlakuan Ivan nyaris berbeda dengan yang sering ia lihat. Lelaki berkulit putih itu tampak baik. Sedayu terkadang ragu, apakah Ivan benar-benar tulus? Rantang itu masih hangat ketika ia tak sengaja menyentuhnya. Pun wangi masakan sedikit menguar meski ditutup.

"Mbok di depan hanya punya tempe dan sayur bening, oh ... empal daging yang kusimpan khusus untukmu."

Lauk mewah. Sudah berapa lama ia tak merasakan empal daging? Mungkin sudah lama sekali. Dan khusus katanya. Ivan memaknai khusus saja rasanya itu berbeda. Sedayu menatap rantang yang ditenteng pria itu.

SEDAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang