01. Asa di Pelupuk Matanya

60 17 3
                                    

Barangkali Toehan Maha Pemoerah, mentjieptakan negrikoe sebegitoe hebatnja sampai-sampai mendatangkan pedagang dari berbagai pendjoeroe doenia. Kebaikan kami disalahartikan, mereka ingin lebih dari sekadar mengoengsie oentoek djual beli. Mereka beranak-pinak dan hidoep dengan lajak disini, sementara kami ... tersi'sa mati.

Sedayu Larasati—menaroeh toelisan pertamanja dalam boengkoes tempe, 1922.

***


1928

Bertahun-tahun hidup dalam penjajahan cukup membuat Sedayu sadar bahwa mereka tak lain tak bukan hanya tetamu di rumah sendiri. Kekerasan sudah jadi makanan sehari-hari, apalagi bila musim panen tidak tercukupi. Sedayu tak menampik bahwa bapaknya hanya seorang petani, sementara ibunya terkadang menjadi buruh cuci.

Sedayu geram melihat bangsa asing itu makin sesuka hati. Kini, ia sedang membantu ibunya di kediaman seorang istri petinggi Belanda, Mevrouw Jurriens. Meski mereka berkulit putih bukan berarti hati mereka sama bersihnya. Mereka sudah menanamkan pada anak-anak mereka untuk membenci pribumi. Mengkotakkan manusia berdasarkan warna kulit, hitam dan putih. Kaum inlander¹ tidak berhak berdekatan dengan londo². Maka dari itu, tak jarang anak-anak mereka bersikap semena-mena. Sungguh, menjijikkan!

Mevrouw Jurriens melempar bakul berisi kain kotor itu hingga berhamburan di lantai semuanya. Sedayu berhenti mengucek, ia beralih menumpuk kain kotor itu bersama pakaian yang lain. Ia menahan kesal sebetulnya, terlihat bagaimana gadis itu berulang kali mengetatkan jaritnya di paha.

"Baguslah, jij³ memang seharusnya sadar untuk membantunya. Ibumu hanya seorang jongosdisini," ucapnya ketus.

Kepala Sedayu akhirnya terangkat juga. Manik biru terang itu mencemoohnya. Sedayu ingin bangkit dan melayangkan tamparannya, namun berhasil dicekal ibunya. Ratih menggeleng, ia tau betul apa konsekuensinya bila anaknya menampar istri gubernur. Jika beruntung, ia hanya dipenggal sampai mati. Namun ia rasa takkan semudah itu, Sedayu mungkin akan diarak keliling Soerakarta hingga mati.

Sebuah tangan menggelayut manja di pinggang Mevrouw Jurriens. "Sudahlah, tidak perlu terlalu kasar pada mereka, Jurriens." Meneer Gregor, pria yang tampaknya sedikit bermurah hati membela mereka, atau mungkin memang begitu. Telinganya tak cukup tuli untuk sering mendengar dari para petani bahwa Meneer bergelar Van Houten itu memberi upah yang layak.

"Ternyata benar kabar burung itu. Karena keseringan bergaul dengan pribumi, kau jadi membela mereka sekarang!" Mevrouw Jurriens bersedekap dada, tubuhnya enggan menghadap Meneer Gregor di sampingnya.

Cih, sungguh memuakkan melihat Mevrouw Jurriens yang merajuk seperti sekarang. Meneer Gregor menghela napasnya. Bukan pria itu tidak menangkap maksud istrinya, ia lelah menghadapinya.

Wajahnya memerah, menahan malu yang teramat. Susah payah ia memalingkan muka, berharap sang suami akan membujuk rayu dirinya, tapi sepertinya hanya akan menjadi angan-angan semata. Meneer Gregor takkan pernah melakukan itu untuknya. Sebaliknya, ucapan Meneer Gregor justru menamparnya keras. Membawa Mevrouw Jurriens remuk redam, sebab hatinya hancur berkeping-keping setelahnya.

"Berhenti menjadi kekanakan, Jurriens. Berterimakasihlah pada voder dan jangan melakukan tingkah seperti ini lagi, ja⁶? Kalau-kalau kau lupa ... dulu kau tak lebih dari anak yatim yang terlunta-lunta di Batavia."

Meneer Gregor lantas meninggalkannya yang kini diam membisu. Sedayu dan ibunya menuli, seolah-olah memang tak mendengar perkataan itu. Cukup menyakitkan terdengar sendiri, ditambah harus menambal wajah mengingat ada dua pasang telinga yang mendengar sedari tadi.

***

Kepulan asap dari tungku menguar, membaui seisi gubuk sederhana itu. Beralaskan tikar bambu sederhana, Sedayu meletakkan tungku tersebut di bawahnya. Jika belum panen seperti ini, tak ada yang bisa dimasak selain merebus ubi beserta pakis yang biasa tumbuh liar di belakang rumahnya.

"Sudah matang, Yu⁷?" tanya Randu.

Adiknya kini berusia 11 tahun, dua tahun di bawahnya. Tubuhnya terbilang cukup kecil untuk anak seusianya. Terkadang, ia membantu bapak di sawah untuk sekadar mengutip tutut atau belut yang diam-diam diselipkannya di baju. Tentu saja tanpa sepengetahuan bedebah-bedebah itu. Meski begitu, anak ini sebelas duabelas seperti dirinya. Keras kepala dan penuh tanya.

Sedayu kecil pernah mengintip anak londo-londo itu belajar di sekolah. Badannya yang kecil memudahkan ia untuk memanjat, bahkan melompat pagar pembatas yang sengaja dibangun untuk memperlihatkan strata sosial mereka. Tentu saja kesenjangan semakin tampak jelas, hanya kaum-kaum tertentu yang bisa bersekolah. Kaum elit seperti bangsawan serta pembesar pribumi. Bagi orang kecil seperti Sedayu, tidak buta huruf serta mengerti jumlah gulden saja sudah cukup.

Ada yang lebih penting dibanding mengenyam sebuah pendidikan kala itu, bagaimana mereka harus bertahan hidup agar tidak mati kelaparan.

"Sudah, makanlah dulu kalau kamu memang sudah lapar," tawar Sedayu.

"Belum, tolong rebus ini, Yu. Kasihan pak'e dan biyung makan ubi terus." Randu menyerahkan ember berisi tutut yang sudah dibersihkan pada Sedayu. Tidak banyak memang, namun lauk itu cukup untuk menambah nafsu makan.

Sedayu menatapnya tajam, "Kamu jangan sering-sering begini, Ndu. Kamu tau sendiri bagaimana sikap londo-londo itu pada kita. Aku takut akan memicu masalah." Sedayu menghela napasnya gusar. Tak urung, gadis itu lantas kembali ke belakang untuk menggiling bumbu dan menumisnya bersama tutut-tutut itu.

"Nopo seh, Mbak Yu⁷? Kita sudah cukup kekurangan, apa kita tidak bisa makan dengan layak sama sekali? Mereka saja bisa hidup dengan enak disini. Bahkan mereka hanya leyeh-leyeh setiap hari sembari mengais hasil bumi kita. Biyung sendiri buktinya, biyungku hanya dianggap babu rendahan oleh mereka."

Randu berucap parau. Air mata sudah menggenang di pelupuknya. Ia membenci kata-kata yang terlantur dari bibirnya. Mengapa sebutan rendahan itu hanya diperuntukkan pribumi seperti mereka? Tubuhnya yang terlampau ringkih diraih oleh Sedayu. Ia pun sama sakitnya, seperti Randu.

Randu melepas pelukannya. "Kemarin aku sempat mencuri surat kabar, Yu. Jangan lupa membacanya." Randu menyerahkan gulungan kertas kusut itu dari balik bajunya. Kemudian anak itu kembali keluar, meninggalkan ia sendiri.

Sedayu membuka gulungan itu, entah sudah surat kabar ke berapa yang berhasil lolos di tangan Randu kali ini. Ia membaca rentetan huruf disana. Gemilang tampak jelas di matanya. Sedayu yakin surat kabar ini menumbuhkan harapan rakyat. Mereka yang berputus asa puluhan tahun lamanya seolah menemukan secercah cahaya. Kelak, negeri tercintanya akan bebas dari belenggu para penjajah.

Soerat Chabar

Indonesia Raja

Indonesia tanah airkoe
Tanah toempah darahkoe
Di sanalah akoe berdiri
Mendjaga pandoe ibukoe

Indonesia kebangsaankoe
Kebangsaan tanah airkoe
Marilah kita berseroe
Indonesia bersatoe

Hidoeplah tanahkoe
Hidoeplah negrikoe
Bangsakoe, ra'jatkoe
Semoeanja

Bangoenlah djiwanja
Bangoenlah bangsanja
Oentoch indonesia raja

Indonesia raja, merdeka merdeka!
Tanahkoe negrikoe, jang kutjinta
Indonesia raja, merdeka merdeka!
Hidoeplah indonesia raja


W. R. Soepratman

***

Catatan kaki:

¹ Sebuah ejekan yang digunakan Belanda untuk pribumi
² Belanda
³ Kamu
⁴ Babu
⁵ Ayah
⁶ Ya
⁷ Kenapa sih, Kak?
⁸ Santai-santai

SEDAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang