03. Bumi Menangis untuk Sedayu

30 13 0
                                    

Seolah sudah biasa berteman dengan binatang malam, Sedayu tampak biasa saja meski makhluk pengisap darah itu berdenging di telinganya. Ini bahkan sudah larut, namun entah mengapa Sedayu masih terjaga. Ia berbaring di atas ranjang reyot itu sembari menatap langit-langit rumahnya yang lapuk. Khayalannya setiap malam hanyalah dua, takut ketika terbangun ia berada di antara reruntuhan atau seekor kelabang dewasa terjun bebas dari atas sana—membuatnya kelojotan di tempat seperti dulu. Kini terdengar bunyi berderit ketika Sedayu mulai membolak-balikkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Ah, kekhawatirannya bertambah satu sekarang.

Sedayu memejamkan mata. Ia berdesis kesal, bayangan itu tak kunjung hilang. Ya, si prajurit londo.

"Untukmu." Ivan menyerahkan sebuah kantung yang sengaja ia selipkan di dalam saku. Badannya sedikit merapat pada Sedayu—mengelabui pandangan orang sekitar.

Sedayu membelalakkan mata. "U-untuk apa, Ivan?" Ia mendorong kantung itu, enggan menerima pemberian Ivan. Namun pria itu keras kepala, ia menutup telapak tangan itu dan menggenggam Sedayu erat supaya perempuan itu menyimpannya dengan baik.

"Bonus panen hari ini. Simpanlah."

"Tidak perlu, Tuan—maksud saya Ivan." Tolak Sedayu. Tidak mungkin ada bonus, Ivan berbohong. Dari beratnya saja, Sedayu tau itu lebih dari 10 gulden. Lima kali lipat dari upah panen yang diberikan. Seumur-umur, ia tidak pernah menyentuh uang sebanyak itu.

Ivan berdecak. Ucapan Sedayu menyentil hatinya. "Simpanlah," ujarnya sekali lagi.

Matanya menerawang ke atas. Sedayu sudah memutuskan untuk tidak memakai uang itu. Ia takut kalau Ivan tiba-tiba datang dan menagih. Tidak mungkin seorang kompeni memberikan uang secara cuma-cuma, bukan? Perempuan itu menghela napasnya kasar. Sepertinya ia takkan tidur hanya karena memikirkan itu. Sepele memang, namun petani mana yang mendapatkan bonus duapuluh gulden untuk sekali panen. Pribumi tak pernah hidup makmur, kecuali mereka seorang Nyai¹ disini.

"Belum tidur, nduk?"

Sedayu tersentak. Ah, ibunya pasti terbangun karenanya. Dalam gubuk hanya terdapat dua ranjang, Randu masih tidur bersama kedua orangtuanya di belakang, sedangkan ia berada di kamar depan. Inilah yang Sedayu sesalkan bila ia sedang tidak bisa tidur—dan tidak bisa diam di ranjang. Ranjang kayu yang meringik sedari tadi pasti membangunkan ibunya. Gadis itu bangkit dari rebahnya, menatap Ratih yang kini masuk ke dalam kamarnya.

"Sedayu terbangun, Biyung."

"Karena nyamuk?" Ratih menelisik sekitar. "Randu lupa membakar sabut kelapa, ya?" Kedua alisnya terangkat.

Ya, kebiasaan itu sering dilakukan setiap malam agar koloni binatang itu tidak berkeliaran. Sedayu menelan salivanya. Bukan itu alasannya, dan Ratih mungkin lupa bahwa Randu tidak pernah mengabaikan kewajibannya. Sedayu ingat benar, adiknya tak pernah melewatkan pekerjaan itu.

"Tidak, Biyung. Randu sudah mbakar petang tadi. Kalau tengah malam memang datang lagi mereka, Biyung."

Sedayu sontak beranjak kala melihat Ratih mengganjal pintu kamarnya dengan bilah bambu. Ia tau Ratih akan tidur disini. Bukan apa-apa, ia hanya tak ingin penyakit ibunya itu kambuh lagi. Dan benar saja, semakin dilarang Ratih akan semakin bersikeras dengan jawaban yang ia miliki.

"Ayo tidur, Yu. Biyung temani."

Sedayu akan menjawab seperti biasa, tentu saja jawabannya tidak akan mengubah niat wanita itu. Tidak sama sekali. Hal itu yang membuat ia gemas pada ibunya sendiri. "Ndak usah, Biyung. Sedayu sendiri saja," ujarnya tak enak hati.

"Wis, selak pagi²."

Ia tergugu di tempat. Ratih selalu saja seperti ini bila ia sedang susah tidur. Pun setiap malam, perempuan itu terbangun hanya untuk mengecup kepala—atau sekedar menarik jarik yang semula turun untuk menyelimutinya. Ia juga pernah terbangun dengan bentolan di lengan sudah dibaluri minyak. Meski begitu, gurat-gurat lelah itu tak pernah ditunjukkan. Apa semua ibu di seluruh dunia memang seperti ini?

SEDAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang