06. Tak Seiras, Tak Serasi

21 6 0
                                    

"Jadi.. bersama siapa kamu kemari, Sedayu?" tanya Ninda.

"Sendiri saja, Nyai."

"Londo itu ... tak menemanimu?"

Suaranya mengalun di tengah-tengah. Ada jeda saat Ninda bertanya. Jeda yang mungkin memastikan, atau mungkin tidak. Barangkali perempuan itu sengaja menjebak lawan bicaranya akan jujur atau sebaliknya. Ninda menatapnya lurus dengan dagu terangkat. Aura intimidasi begitu melekat padanya. Perempuan ini bukan pura-pura, ia memang tau banyak sepertinya. Sedayu tak mengenal londo lain selain Ivan. Sudah pasti yang dimaksud adalah prajurit itu.

"Oh, Ivan? Tidak," kata Sedayu seraya menggelengkan kepala.

"Ivan, hm? Menarik."

Perkataan Ninda terakhir sarat akan satu hal. Kemiripan Sedayu dengan dirinya bak pinang dibelah dua. Sebatang kara dan berjiwa besar. Jalanan mengecam hidupnya begitu keras, ia sempat luntang-lantung di jalan sebelum dipersunting seorang londo. Untungnya, Sedayu tak harus merasakan itu. Diam-diam masyarakat mencemoohnya. Semesta mungkin bukan tanpa sebab mempertemukan mereka hari ini. Melainkan ada hal yang harus diselesaikan.

Sedayu terlihat acuh. Meskipun ia sebetulnya bingung mengapa Ninda bertanya. Bukankah bagi Ninda sendiri, ia sudah biasa bila bergaul dengan seorang londo? Lantas mengapa hal itu dipertanyakan?

"Nyai kenapa ingin bertemu dengan saya?"

"Mbak Ninda saja ketika berdua, Nyai terlalu tua. Aku tidak suka panggilan itu." Ninda menyesap tehnya sebelum berbicara. Mengulik kisah lama sama seperti membuka luka menganga baginya. Ia tidak ingin mengingat situasi itu, kecuali Ratih yang datang sebagai malaikat penolong. "Aku kenal dengan ibumu. Dia sempat merawatku sebelum aku disini."

"Lalu ... kemarin emm—Mbak Ninda ingin menyampaikan apa? Maaf karena saya tidak sopan. Sebetulnya saya masih berduka. Sampai sekarang pun saya masih nggak menyangka baik bapak, biyung, dan Randu meninggalkan saya sendiri." Sedayu meremat jarinya, air mata itu membumbung keluar. "Saya sedih, tapi saya tidak tau mengadu pada siapa. Saya lihat saat itu ...," ia mulai terisak. "Bedil-bedil itu meluluhlantakkan mereka semua. Saya nggak tau harus seperti apa, Mbak."

Sedayu menangkupkan tangannya. Luntur sudah dirinya. Rasa-rasanya ingin mati saja kalau harus menghadapi kenyataan begitu pahit. Meski begitu, kakinya harus tetap kuat untuk menjejaki Hindia Belanda. Mengunjungi Batavia—yang katanya begitu indah. Ia harus hidup lebih lama untuk menuntaskan dendamnya.

"Ibumu sudah banyak membantuku dulu. Mari, tinggallah bersamaku Sedayu. Kamu akan menemaniku nanti."

"Sudikah Meneer—"

"Tidak usah pikirkan dia."

Sedayu tak menyangkal pertanyaan ini sempat terlintas dalam hati kecilnya. Kalau bukan karena hutang budi, apakah Ninda masih bermurah hati menampung dirinya saat ini? Sedayu bukan tak tau diri, ia berusaha sadar posisi. Kemungkinan terburuk selalu menghampiri orang-orang kecil, dan itu tidak pernah meleset sama sekali.

"Terima kasih, Mbak Yu." Dengan mata berkaca-kaca, sontak ia mencium tangan Ninda berulang kali. "Terima kasih banyak, Mbak!" Katanya lagi.

***

Seorang jongos mengantarkan Sedayu pada sebuah bilik kamar. Ia ditempatkan di bilik yang berbeda dengan jongos lain. Bilik kosong dengan ranjang untuk satu orang, lebih luas dan terawat karena sering dibersihkan. Hanya saja ketika masuk, udaranya terlalu lembab karena tidak pernah ditempati.

SEDAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang