02. Ivan van Houten

50 15 1
                                    

Hatikoe berbisik piloe, soedah sejaoeh ini ternjata. Djika benar Toehan itoe adil, mengapa orang-orang ketjil seperti kami masih sadja tertindas?

——Rahardja, 1926.


***


Sedari kecil Sedayu memang dibesarkan dengan lingkungan penjajah. Untuk pertama kalinya saat melihat kekejaman prajurit Belanda, Sedayu tidak mengerti apa yang mereka lakukan, namun ia tau bahwa itu bukanlah hal yang baik. Perilaku mereka yang tidak senonoh tersebut dipertontonkan khalayak ramai dan menjadi bahan tertawaan. Seolah-olah itu memang sudah biasa terjadi. Mirisnya, tak satupun warga yang menolong saat prajurit itu melecehkan beberapa gadis disana.

Bila saat itu ia hanya bisa menonton, sekarang ia dipertontonkan. Sedayu selalu berharap agar ia tidak pernah dilahirkan sebegitu rupawannya. Dianugerahi paras menawan, cukup untuk membuat prajurit-prajurit itu sempat terkecoh bahwa ia dari kalangan bawah. Matanya yang selalu tajam ketika tak sengaja bersitatap dengan mereka justru semakin mengundang rasa penasaran.

"Hei, kau. Berhenti."

Sialan, padahal langkah Sedayu sudah paling cepat. Ia juga sedikit mengangkat jaritnya agar tidak terserimpit. Bukannya meneruskan langkah, tubuhnya malah mengkaku seperti orang dungu. Masih dengan meremat jarit, Sedayu memendarkan tatapannya. Terlihat sekumpulan prajurit Belanda yang kini tengah menatapnya.

"Ik win¹!" Teriak salah seorang prajurit itu. Mereka serentak terkekeh melihat Sedayu yang gemetaran di tempat. Tidak dengan seseorang yang berada paling ujung di gerombolan itu. Sedayu melihat tatapan itu, tatapan kasihan juga ... ia tak mungkin salah melihat bahwa lelaki itu tersenyum tipis.

"Datangi dia, Ivan. Coba lihat ia lebih dekat." Prajurit itu menyeringai.

Ivan, lelaki yang melemparkan senyum padanya tadi kini mendekat. Postur mereka yang begitu tinggi mendukung pekerjaan mereka di satu sisi. Begitupun langkah kaki mereka yang lebar, memaksa mereka untuk selalu bergerak cepat. Ilusi mata ternyata begitu menipu, Ivan sudah berada di hadapan Sedayu dan lebih tinggi dari yang ia lihat. Sedayu bahkan hanya sebatas dadanya.

Ivan merunduk untuk melihat Sedayu. Benar, gadis ini memang cantik dengan hidung bangirnya. Bagaimana bisa kulit kuning langsat ini bertarung dengan jilatan matahari? Mata hitam pekat yang selalu ia lihat disini menyorot betapa kejamnya dunia. Ivan tidak berbohong bahwa negeri jajahannya ini memiliki segala aspek yang begitu sempurna. Ia mengerti benar mengapa negeri lain berbondong-bondong kesini, termasuk negerinya sendiri. Lelaki itu bisa bertarung bahwa mengapa Nederlands memilih Hindia Belanda untuk dijajah. Mereka memiliki segalanya disini. Dan ia rasa itu cukup untuk dijadikan sebuah alasan.

Sedayu mengetatkan rahangnya. "Mau apa, Tuan? Aku tidak punya apa-apa." Suara lembut nan tegas itu keluar dari mulutnya. Kalau saja ia bisa, Sedayu ingin segera pergi dari sana.

"Tidak, hanya ingin melihatmu."

Lancang. Perkataan Ivan benar-benar lancang. Harapannya memudar seketika. Sedayu tak melihat itu sebagai pujian, melainkan seperti mencoba menggodanya. Ia baru saja mengira bahwa Ivan tak mungkin sama seperti teman-temannya, tapi ternyata tidak.

"Jangan lewat disini lagi. Kalau tidak, mereka akan mengganggumu. Siapa namamu?" tanya Ivan seraya berbisik.

"Sedayu." Sedayu tak tau mengapa suaranya ikut memelan bahkan nyaris tak terdengar. Entah karena takut terdengar, sebab dari ujung matanya ... gerombolan prajurit itu kini terlihat bersiul heboh ke arah mereka.

"Sedayu?" Ulang Ivan yang diangguki oleh Sedayu. "Kau mau pulang, 'kan? Mari, biar aku temani." Tidak, Ivan tak tau mengapa kalimat itu keluar dari mulutnya. Padahal dulu ia begitu acuh kala teman-teman menggoda beberapa gadis disini, tapi tidak dengan Sedayu. Entah magnet apa yang menyuruhnya mendekati gadis ini. Tapi tawaran itu berujung sia-sia, Sedayu menolak setelahnya.

SEDAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang