04. Penawar untuk Sang Puan

36 13 7
                                    

Dedaunan tak lagi bergemerisik, seolah turut bersedih atas kemalangan yang terjadi pada Sedayu. Hari semakin gelap, namun Sedayu tak juga beranjak di tempatnya. Ia masih disana—menatap gundukan makam keluarganya. Perempuan itu menggali sendiri liang ketiganya. Tak apa ia dianggap gila, daripada membiarkan anjing liar menggondol mayat ketiganya. Oh, hatinya meringis kembali. Mata sembab itu tak lagi menangis, melainkan menyimpan kecewa yang begitu dalam. Ia menyayangkan kematian merenggut ibu, bapak, dan adiknya dengan keji. Sedayu menghabiskan botol air yang terakhir—menuangnya pada jejeran patok kayu tanpa nama.

"Sedayu ndak bisa sering-sering kesini. Jadi ... biyung, pak'e, dan Randu datang saja ke mimpi, yo. Kalian lho yang tega ninggalin aku sendiri. Biar saja aku dianggap anak durhaka, toh biyung dan pak'e juga menelantarkanku sekarang," Sedayu menarik napasnya dalam sebelum melanjutkan kata-katanya. "Maaf Sedayu belum bisa ngasih yang bagus, nanti kalau tanahnya sudah keras ... gulden dari londo itu akan Sedayu tukarkan nisan keramik."

Sedayu merapikan jaritnya yang kusut. Entah berapa lama ia terduduk di tanah liat, tapi yang jelas, jaritnya sudah kotor tak berbentuk.

"Sedayu pulang dulu," pamitnya.

Sedayu berjalan keluar dari pemakaman tersebut. Kakinya melangkah hati-hati acap kali melewati batu-batu yang ditandai sebagai kuburan bayi. Punggung belakangnya terasa panas, ia sadar ada yang mengikutinya dari tadi. Namun ia tak mengindahkan firasat itu. Jika benar manusia yang mengikutinya, maka gila dia menunggu perempuan melayat sampai surup¹. Sedayu tidak peduli kalau itu adalah setan. Badannya terasa remuk, ia ingin membersihkan diri sehabis ini.

"Sedayu?"

Ia tersentak saat seseorang memanggilnya. Di belakangnya ada seorang perempuan, berpakaian layak—tidak sepertinya yang lusuh dan kumal. Dari kebaya serta aksesoris yang menghiasi di seluruh tubuhnya saja, Sedayu tau perempuan itu bukan orang biasa. Meski wajahnya tegas, raut wajahnya terlihat anggun dan lembut. Kalau saja praduganya tak menyeleweng, pastilah ia seorang Nyai.

"Kamu Sedayu anaknya Ratih dan Rahardja, 'kan?" Perempuan itu menambahkan. Ia melihat gadis di depannya bingung saat menatapnya. "Kamu boleh memanggilku Ninda. Aku teman ibumu," tandasnya.

Sedayu masih bergeming.

"Sebelum berpulang, Ratih menitipkanmu padaku. Mungkin ia sadar waktunya tak lama lagi." Ninda sadar perkataan itu mengusik perasaan Sedayu. Tapi mau bagaimana lagi, ia harus segera bertemu gadis itu. Namun setelah melihat wajah Sedayu yang tak bersahabat, harusnya ia mengurungkan niat untuk datang secepat ini. Ya, Nindalah yang mengekori Sedayu.

"Saya harus bebersih," kata Sedayu pada akhirnya. Gadis itu berhenti sejenak, memandang Ninda lekat. "Maaf, saya tidak bisa melayani Nyai dulu," katanya lantas menutup pintu.

"Tunggu!"

Ninda menahan papan itu. Tampaknya Sedayu menahan kesal. Sebab, ia sama sekali tak berminat menerima tamu. Sorot tajam itu malah menatapnya dari celah-celah pintu.

"Saya harus ngomong sama kamu."

"Tidak sekarang. Kalau Nyai tidak keberatan, Nyai boleh pulang. Fajar esok biar saya yang bertandang."

Singkat dan padat. Sedayu meninggalkan Ninda di luar. Ah, sebutan itu lagi. Ninda terlihat kecewa. Apa tampilannya sekarang tampak seperti Nyai? Tapi kala menilik perhiasan ini, memang hanya kalangan tertentu saja yang bisa memakainya. Ninda tak mengelak fakta itu—fakta bahwa ia seorang simpanan juragan londo. Tidak, ia tidak bermaksud mengkhianati negaranya sendiri. Ia mencintai Hindia Belanda, sangat. Namun, sebuah keterpaksaan menggugurkan mimpi-mimpinya.

"Joko!" Pekiknya.

Ninda tidak sendiri rupanya. Ada seorang pria dari balik dokar yang menunggu wanita itu. Pria yang dipanggil Joko tadi tersungut-sungut menghampirinya. Punggungnya sedikit meringkuk saat menghadap Ninda.

SEDAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang