Setelah beberapa saat, dia akhirnya berdiri dan mulai mengenakan pakaiannya. "Aku bakal datang lagi," katanya dengan nada penuh kepastian. "Jangan lupa apa yang udah kamu pelajari malam ini."
Dia kemudian mendekat dan mencium bibirku dengan paksa, sebuah ciuman yang terasa dingin dan penuh penghinaan. Aku hanya bisa terdiam, tak berdaya, merasakan setiap detik rasa jijik yang semakin mendalam. Air mata yang terus mengalir di pipiku menandakan betapa hancurnya perasaanku saat itu.
Setelah itu, dia melepaskan ciumannya dan mundur sambil tersenyum puas. "Ingat, kamu harus patuh kalau nggak mau lebih menderita," ucapnya.
Dia tertawa kecil sebelum berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan jejak keangkuhan di setiap langkahnya. Pintu tertutup dengan bunyi yang menggelegar, seolah menandai akhir dari malam yang mengerikan ini. Aku terkulai di lantai, merasakan keheningan yang begitu mencekam.
Setelah dia pergi, aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ada. Dengan tubuh yang gemetar, aku berusaha untuk bangkit, tapi rasa sakit dan kelelahan membuat setiap gerakan terasa sulit. Aku duduk di sudut ruangan, mencoba menenangkan diri. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah-olah udara di ruangan ini tidak cukup untuk mengisi paru-paruku yang sesak.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa takut yang terus menghantuiku. "Aku harus kuat," bisikku pada diri sendiri, meskipun suaraku hampir tidak terdengar. Aku tahu bahwa aku harus bertahan demi Rina dan demi harapan bahwa suatu hari nanti, kami bisa bebas dari mimpi buruk ini.
Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju kamar kecil di sudut ruangan. Aku menatap cermin di depanku, melihat sosok yang hampir tidak kukenal lagi. Wajah yang pucat, mata yang sembab, dan air mata yang masih mengalir. Aku mengusap wajahku, berusaha menghapus jejak-jejak penderitaan yang tertinggal.
"Aku akan melewati ini," kataku kepada bayangan di cermin. "Aku harus."
Kata-kata itu memberiku sedikit kekuatan, cukup untuk menghadapi hari-hari yang akan datang. Meskipun dunia ini terasa begitu gelap dan menakutkan, aku tahu bahwa di suatu tempat, ada harapan yang menanti. Aku akan terus berjuang, tidak peduli seberapa sulit jalannya. Demi Rina, demi cinta kami, dan demi harapan akan kebebasan yang suatu hari nanti akan tiba.
Dengan hati yang berat, aku keluar dari kamar kecil itu dan kembali ke ruangan tempat semuanya terjadi. Suasana yang mencekam dan aroma yang menyesakkan masih menyelimuti ruangan itu. Aku duduk di sofa, tubuhku terasa lelah dan pikiran kacau. Rasanya seolah-olah beban dunia menimpa pundakku, namun aku berusaha tetap kuat.
Saat duduk di sofa itu, pikiranku melayang kepada Rina. Apa yang terjadi padanya? Apakah dia juga mengalami hal yang sama sepertiku? Rasa cemas dan ketakutan menguasai diriku saat memikirkan nasib Rina.
Aku tahu bahwa Rina juga berada di tempat yang sama, mungkin di ruangan lain, menghadapi cobaan yang tak kalah berat. Aku tidak bisa membayangkan penderitaan yang harus dia lalui. Rina adalah wanita yang kuat, tetapi situasi ini pasti menghancurkan hatinya. Pikiran bahwa dia mungkin mengalami kekerasan dan penghinaan yang sama membuatku merasa putus asa dan marah.
Ketidakpastian tentang nasib Rina membuatku semakin merasa tak berdaya. Aku harus mencari cara untuk mengetahui keadaannya, untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Tapi bagaimana? Tempat ini diawasi ketat, setiap langkah diawasi dengan seksama. Rasa putus asa semakin dalam, tetapi aku tidak boleh menyerah.
Aku mencoba menguatkan diri, mencari sedikit harapan di tengah kegelapan ini. Aku harus percaya bahwa kami akan menemukan jalan keluar, bahwa kami akan bertahan dan suatu hari nanti bebas dari neraka ini.
Di tengah lamunanku, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Jantungku berdegup kencang saat melihat Herman masuk dengan seorang perempuan yang membawa tas besar. Perasaanku campur aduk antara takut dan penasaran. Siapa perempuan itu, dan apa yang ada di dalam tas tersebut?

KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Hutang
General FictionNamaku Arman, seorang suami yang sangat mencintai istriku, Rina. Hidup kami sederhana di kota kecil yang tenang, dengan impian membuka toko kecil untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, ketika modal menjadi hambatan, kami terpaksa meminjam uang dari...