Dengan kunci di tangan, aku dan Dewi bergerak cepat. Kami menyusup dengan hati-hati menuju pintu ruang bawah tanah yang terkunci. Semua terasa begitu sunyi, kecuali deru napas kami dan detak jantung yang berdetak kencang di telinga. Setiap langkah terasa seperti suara petir di dalam kepala, tapi kami terus berjalan.
Ketika kami sampai di depan pintu, aku dengan cepat memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tangan gemetarku hampir membuatku kehilangan kendali, tapi aku berhasil memutar kunci itu dengan sekali putaran. Bunyi klik pintu yang terbuka terdengar begitu nyaring, tapi anehnya justru memberiku dorongan keberanian.
Pintu itu perlahan terbuka, memperlihatkan lorong gelap di dalamnya. Udara yang keluar dari dalam terasa lembap dan dingin, seolah-olah tempat itu telah lama terkunci dari cahaya dan kehidupan. Aku menoleh ke Dewi, yang menatapku dengan sorot mata yang penuh tekad. Tanpa bicara, kami saling mengangguk. Kami tahu tidak ada jalan kembali. Ini adalah saatnya.
Dengan hati yang berdebar kencang, kami melangkah masuk ke dalam ruang bawah tanah. Udara di sana terasa pengap, berat, dan dingin, seolah-olah tidak ada kehidupan yang pernah merasakannya selama bertahun-tahun. Lampu remang-remang yang ada di sudut-sudut ruangan tidak cukup menerangi dengan baik, hanya bayang-bayang samar yang menari di antara dinding-dinding batu yang tampak tua dan lapuk. Suara langkah kaki kami bergema pelan, setiap detik terasa semakin menegangkan. Jantungku berdetak kencang, tubuhku tegang dengan harapan sekaligus ketakutan akan apa yang mungkin akan kami temukan di sini.
"Mungkin di sini..." gumamku pelan, suaraku hampir tidak terdengar di antara dinding batu. "Mungkin di sini Rina ditahan."
Aku menatap ke depan, memaksakan mataku untuk melihat lebih jelas dalam kegelapan. Aku tahu bahwa di tempat ini, di ruangan yang menyesakkan ini, mungkin ada sesuatu yang selama ini kami cari—atau sesuatu yang sangat mengerikan.
Langkah kami semakin mendekati pusat ruangan, dan saat itulah aku melihatnya. Di sudut yang paling gelap, tampak sekelompok perempuan, tak berdaya, duduk dengan tangan mereka diborgol pada rantai yang menempel di dinding. Mereka terlihat sangat lemah dan kotor, tubuh mereka hampir tidak bergerak, hanya terkulai tanpa harapan. Tapi di antara mereka, mataku tertuju pada satu sosok yang begitu familiar.
"Rina..." bisikku, hampir tidak bisa berkata apa-apa.
Baca selengkapnya di https://karyakarsa.com/auliashara atau klik link di bio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Hutang
General FictionNamaku Arman, seorang suami yang sangat mencintai istriku, Rina. Hidup kami sederhana di kota kecil yang tenang, dengan impian membuka toko kecil untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, ketika modal menjadi hambatan, kami terpaksa meminjam uang dari...