Saat kami sampai di sebuah sudut ruangan yang lebih terang, wanita itu berhenti dan memandangku dengan tatapan sinis. Dia membuka tas yang dibawanya dan mengeluarkan beberapa pakaian. Dengan nada dingin dan tanpa ekspresi, ia menyodorkan lingerie serta kimono berenda berwarna putih kepadaku.
"Ini buat kamu," katanya singkat, suaranya seperti es yang mengiris ke dalam diriku. "Pake sekarang juga."
Aku menerima pakaian itu dengan tangan gemetar, rasa malu dan takut kembali menghantamku dengan keras. Tekstur lembut lingerie di jari-jariku seolah mengejek penderitaan yang kualami. Setiap helai kain ini, meskipun tampak mewah dan indah, terasa seperti belenggu yang menambah beban emosional yang sudah begitu berat.
Wanita itu melipat tangannya di depan dada, matanya tetap tak beranjak dariku, menuntut agar aku segera berpakaian. "Cepet, kita nggak punya banyak waktu," desaknya, ketidaksabaran terdengar jelas dalam nada suaranya.
Dengan perasaan campur aduk antara takut dan putus asa, aku mulai membuka handuk yang kupakai dan mengenakan lingerie itu. Aku merasakan kain tipis dan halus menyentuh kulitku, memberikan sensasi dingin yang tak menyenangkan. Aku merasakan setiap sentuhan renda yang lembut, namun dalam situasi ini, justru menambah perasaan rentan dan terekspos. Renda-renda pada kimono yang biasanya dianggap cantik dan anggun kini terasa seperti penghinaan.
Saat aku mengenakan lingerie, tangan-tanganku gemetar, membuat tugas yang sederhana ini terasa sangat sulit. Aku bisa merasakan tatapan tajam wanita itu, seolah-olah dia memeriksa setiap gerakanku dengan detail yang mengerikan. Setiap kesalahan kecil, setiap gerakan yang tidak sempurna, bisa jadi memancing kemarahan yang lebih besar.
"Ayo, lebih cepet lagi," katanya dengan nada mendesak. "Kita gak punya banyak waktu."
Aku akhirnya berhasil mengenakan lingerie dengan benar, lalu meraih kimono berenda putih itu. Aku membuka kimono dan membungkusnya di sekeliling tubuhku, berusaha menutupi rasa maluku semampu mungkin. Ketika aku mengikat tali kimono, aku mencoba mengabaikan perasaan terhina yang terus menghantui. Setiap helai kain yang menyentuh kulitku terasa seperti pengingat dari situasi tak tertahankan ini.
Setelah selesai, wanita itu mendekat lagi, membawa wig dan kotak berisi alat-alat makeup. Tatapannya tetap tajam dan penuh kendali, tidak ada tanda-tanda belas kasihan di matanya. "Sekarang, duduk di sini," perintahnya, menunjuk ke sebuah kursi di sudut ruangan.
Aku menurut, duduk di kursi dengan hati yang berdebar kencang. Wanita itu mulai memasangkan wig di kepalaku, rambut palsu panjang berwarna hitam yang terasa berat dan asing. Dia menarik wig itu dengan keras, memastikan pas di kepalaku, tidak peduli dengan rasa sakit yang ditimbulkan. Aku menahan rasa sakit dan ketidaknyamanan, tidak berani protes.
"Diam aja, jangan banyak gerak," katanya dengan nada tegas. Tangannya yang cekatan mulai merapikan wig, memastikan setiap helai rambut berada di tempat yang diinginkannya. Ketika dia merasa puas dengan hasilnya, dia beralih ke kotak makeup.
Wanita itu mengeluarkan berbagai alat dan produk makeup, menata mereka di meja kecil di samping kursi. "Sekarang, aku bakal dandanin kamu. Jangan banyak gerak," katanya sambil mengoleskan primer ke wajahku. Sentuhan tangannya kasar dan tidak peduli, seolah aku bukan manusia tapi boneka yang bisa diatur sesuka hatinya.
Baca selengkapnya di https://karyakarsa.com/auliashara atau klik link di bio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Hutang
Ficção GeralNamaku Arman, seorang suami yang sangat mencintai istriku, Rina. Hidup kami sederhana di kota kecil yang tenang, dengan impian membuka toko kecil untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, ketika modal menjadi hambatan, kami terpaksa meminjam uang dari...