Di sela-sela gerakanku, aku melirik ke arah Rina, yang sekarang terlihat tak berdaya menyaksikan semua ini. Frustrasinya semakin jelas di wajahnya, namun dia tahu, seperti halnya aku, bahwa aku sudah terlalu jauh di depan untuk bisa disusul. Rina mungkin ingin ikut bermain, tetapi aku sudah menetapkan siapa yang memimpin di sini. Dan kali ini, itu adalah aku.
Bibirku yang terus bergerak naik turun dengan kecepatan yang semakin intens, "slrp... slrp..." diiringi oleh permainan tanganku yang mengocok pangkal penis Herman, membuat momen ini semakin penuh gairah. "Ahhh..." Herman tidak bisa lagi menyembunyikan betapa nikmatnya sensasi yang kurasakan. Di sela-sela setiap gerakanku, desahan panjangnya bergema di ruangan, "Ohh... ya... ahhh..." sementara aku menikmati kendali penuh atas situasi.
Sementara itu, Rina masih terlihat gelisah, mencoba mencari cara untuk ikut serta. Namun, aku sudah mencapai puncak kendali, memastikan setiap gerakan lebih dalam, lebih cepat, dan lebih intens. "Slrp... hmmmph..." Rasanya seperti aku telah memenangkan permainan ini—Rina hanya bisa menatap frustrasi, sementara Herman benar-benar berada dalam kekuasaanku.
Namun, tiba-tiba dengan gerakan cepat, Rina maju dan mendorongku ke samping, membuatku terkejut sejenak. "Apa-apaan sih kamu?!" ucapku, saat Rina tanpa ragu menggantikan posisiku, bibirnya dengan agresif melingkari penis Herman. "Dasar licik!" batinku, merasa marah dengan tindakan mendadaknya. Erangan Herman terdengar semakin kuat saat Rina mulai mengulum penisnya, mencoba mengambil alih kendali.
Aku tak terima begitu saja. Dengan dorongan keras, aku menyikutnya balik, membuat Rina terhuyung-huyung sesaat. "Mas Herman itu punyaku!" ucapku keras sambil menariknya dengan paksa. Rina menghentikan kulumannya sejenak dan menatapku tajam, wajahnya memerah penuh amarah. "Ih, sana kamu!" teriaknya, mendorongku keras hingga hampir terjatuh, "Dasar bencong!" ejeknya dengan penuh kebencian. Amarahku semakin memuncak. Tanpa pikir panjang, aku meraih rambutnya, menariknya dengan kuat, dan Rina tak tinggal diam. Dia balas menjambak rambutku, tarik-menarik yang panas terjadi di antara kami.
"Cukup!" suara Herman tiba-tiba menggelegar, memecah kekacauan. Dia melerai kami dengan tegas, tangannya besar memisahkan kami berdua dengan cepat. "Kalau kalian mau main, main bareng-bareng, bukan berkelahi!" ucapnya dengan suara rendah tapi penuh otoritas, matanya berkilat tajam, tidak membiarkan kami membantah. Kami berdua terdiam, namun hati ini masih dipenuhi kemarahan.
Meski rasa frustrasi dan tidak terima masih membara di dadaku, aku pun terpaksa menuruti permintaan Herman. Tak ada pilihan lain. Dengan enggan, aku menunduk lagi, membiarkan rasa marah dan cemburu tersimpan di dalam hati. Di depanku, Rina juga sudah berada di posisinya, mencoba mengendalikan dirinya meskipun jelas dia sama kesalnya seperti aku. Suasana di antara kami terasa panas, bukan hanya karena Herman, tapi juga persaingan yang kian terasa di udara.
Baca selengkapnya di https://karyakarsa.com/auliashara atau klik link di bio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Hutang
General FictionNamaku Arman, seorang suami yang sangat mencintai istriku, Rina. Hidup kami sederhana di kota kecil yang tenang, dengan impian membuka toko kecil untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, ketika modal menjadi hambatan, kami terpaksa meminjam uang dari...