Ilham memang sedikit keras. Dia jelas bukan laki-laki seperti Bapak yang bisa dikendalikan. Itulah kenapa dulu aku begitu takut untuk membawanya datang menjadi bagian dari keluarga kami, terlebih pada saat itu aku sangat takut jikalau berubah menjadi orang seperti Ibu. Karena aku tahu masih ada ego di dalam diri Ilham. Dan itu wajar.
Kuteguk setengah botol air mineral sembari menatap lalu lalang orang di jalanan. Setelah sebelumnya berniat ke kantin, nyatanya aku malah berakhir di minimarket depan rumah sakit.
Ada begitu banyak kesadaran di kepalaku bahwa mulai hari ini aku harus terbiasa menatap Ilham bukan sebagai mantan kekasih tetapi adik iparku. Dan jelas ini tidak mudah. Mungkin, kalau cerita ini dimulai ketika aku dan Ilham ..., hanya sebagai mantan pacar, ada kemungkinan untuk lebih mudah diterima. Hanya saja, bahkan tidak ada omongan putus sama sekali di antara kami. Semua selesai tanpa kejelasan. Dan bohong kalau aku bilang tidak terluka saat melihat keberadaannya, terlebih harus menghadapinya dengan peran yang jauh berbeda.
Tepat saat aku meremas botol air mineral kosong dan melemparkannya ke dalam tempat sampah, ponselku berdering. Ada nama Pak Johan di sana. Yang entah bagaimana segera membuatku merasa lega. Benar saja, begitu panggilan kubuka bukan wajah beliau yang muncul di sana melainkan Opa Joshua yang tengah tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arah kamera.
"Halo, Kristina!" sapanya.
Aku pun segera membalas dengan senyuman selebar mungkin, sebisanya menyembunyikan kepedihan. "Papi kok belum tidur?"
"Nggak ngantuk."
"Papi sudah dibilangi!" Pak Johan mendadak muncul dan duduk di sebelah ayahnya. Kalau dilihat dari latar belakangnya, mereka sedang berada di panti, lebih tepatnya di dalam kamar Opa Josh dan tengah duduk di atas kasur. "Dari tadi memaksa perawatan untuk meneleponkan Kristina. Padahal sudah dibilangi kalau Kak Kristina sedang sibuk. Sekali lagi, mohon maaf."
"Tidak masalah kok." Aku kembali duduk dan tidak jadi meninggalkan minimarket. "Oh iya, Papi sudah makan? Sudah minum obat?"
Mendengar pertanyaanku, Opa Josh menjawab dengan bangga, "Sudah dong. Papi kan sekarang rajin. Pokoknya, kamu nggak usah khawatir. Papi akan jaga kesehatan biar kamu tenang dan lancar kerjanya."
"Bagus!" Aku mengacungkan jempol ke kamera.
"Siapa dulu? Papi kamu."
Seringkali aku merasa bahwa Opa Josh hampir selalu hadir setiap kali aku merasa hancur. Seakan ini sebuah ikatan takdir atau semacamnya. Kutemani beliau hingga terlelap via panggilan video. Setelah memastikan beliau terlelap, barulah aku punya kesempatan ngobrol dengan Pak Johan. Aku bahkan baru kembali ke ruang perawatan Zahra sekitar pukul setengah sembilan. Dua jam setelahnya.
*_*
Apakah ini artinya aku menghindar?
Jika aku memang berniat lari untuk apa aku kembali? Aku memang terluka tetapi tidak sendirian. Berulang kali kutekankan hal tersebut pada diri sendiri.
Ketika aku sampai di depan kamar perawatan Zahra, ternyata sudah ada lebih banyak orang di sana termasuk Bu Saropah dan Mas Aziz, suami Mbak Ida, yang langsung kusalami.
"Kapan pulang, Nduk?"
"Tadi pagi, Mas."
"Maya yang bawa Zahra ke sini." Bu Saropah menjelaskan sembari menepuk sisi kosong di sebelahnya, memberi tanda untukku duduk. "Kalau nggak ada Maya mana mungkin Zahra mau dibawa ke rumah sakit? Tapi, ya wis lah, alhamdulillah sekarang sudah dapat obat. Dia akan sembuh kan, May?"
"Insyaallah, Bu!" Aku menepuk lengan Bu Saropah dengan lembut, menenangkannya. Karena bagaimanapun juga, Zahra kini adalah menantu yang sedang mengandung cucunya.
"Ayahmu, May!" Mas Aziz menunjuk ujung lorong yang menampilkan ayahku dengan masih berseragam lengkap berjalan setengah berlari menuju kemari.
"May, bagaimana adikmu? Mana dia?"
"Di dalam, Yah!"
Tanpa menyambut uluran tanganku, Ayah segera membuka pintu. Menyisakan seorang pria yang sangat kukenali menyusul di belakang. Dia lah yang kemudian menyalamiku.
"Selamat malam, Mbak Maya."
"Mas Dirga?"
"Saya nganterin Bapak."
"Eh?"
"Tadi, mobil Pak Salman mogok jadi saya yang antar."
"Oh iya. Terima kasih. Silakan duduk dulu, Mas." Kupersilakan dia menempati bangku kosong yang tadinya kutempati tetapi segera mendapat penolakan.
"Nggak usah, Mbak."
"Lho? Tidak apa-apa, Mas."
"Jangan! Nggak enak."
"Kenapa?"
"Masa saya duduk, Mbak malah berdiri."
"Ya sudah, kalian cari tempat duduk lain saja biar bisa duduk semua." Mas Aziz yang barangkali kesal melihat kami berdebat akhirnya buka suara.
Dan begitulah kemudian kami berakhir di kantin rumah sakit. Mas Dirga memesan segelas kopi sementara aku seperti biasa hanya membeli sebotol air mineral, lagi. Sebagai tambahan, kami juga memesan pisang goreng cokelat yang banyak dibeli oleh pengunjung lain. Hampir semua meja membelinya.
"Anda suka ngasih tumpangan ke orang ya?" candaku.
"Dulu saya mau jadi sopir taksi tapi nggak boleh sama Bapak!"
"Bisa saja. Omong-omong, sudah lama kenal sama Ayah?"
"Lumayan. Kurang lebih tiga tahunan."
Kuangguk-anggukkan kepala tanda paham. "Sudah kenyang dong ya dimarahin sama ayah saya?"
"Pak Salman tidak pernah marah-marah sih, Mbak."
"Masa?"
Mas Dirga menyeruput kopi dari cangkir putih berukuran mungil, lalu mengangguk. "Kadang-kadang saja. Kalau ada yang salah, baru Pak Salman mendisiplinkan. Oh iya, kapan lalu Bapak bilang baru bertemu dengan Ustaz Ali. Beliau bilang, Anda berteman dengan calon menantunya Ustaz Ali, benar?"
"Iya. Namanya Devara. Sahabat saya. Anda kenal dengan Ustaz Ali?"
"Alhamdulillah iya. Almarhum mama saya dulu jamaah pengajian istri beliau. Ustazah Halimah. Tahu?"
"Oh iya, ibunya Hasyim kan? Kalau Ustazah Halimah saya nggak begitu tahu hanya pernah dengar. Kan beliau juga sudah lama meninggal ya? Pas Hasyim masih kecil kan, kalau nggak salah?"
"Benar sekali. Beliau meninggal saat melahirkan, kalau saya nggak salah ingat. Lalu, Ustaz Ali menikah lagi dengan –"
"Umi Sara?"
"Ya. Umi Sara Aisya. Dan jangan bilang, Anda dekat dengan beliau?"
"Kok tahu?"
Mas Dirga malah tersenyum. "Ya jelas tahu. Karena beliau orangnya sangat ramah dan gampang dekat sama orang. Makanya nggak heran kalau penggemarnya banyak banget. Dan kayaknya nggak ada ibu-ibu yang nggak suka dengan beliau."
Itu benar.
Umi Sara adalah kiblat bagi banyak perempuan muslimah Indonesia hari ini. Sebab, bukan hanya orang paruh baya saja, bahkan perempuan muda dan remaja pun mengikutinya di media sosial. Bahkan tidak jarang aku menemukan teman-teman sekolahku memasang cuplikan ceramahnya di media sosial. Inilah kenapa aku sama sekali tidak menduga bahwa Pak Johan adalah anak kandungnya.
Namun, aku sudah berjanji untuk menjaga nama baik Umi. Terlebih karena warganet mudah sekali melabeli seseorang hanya dari satu sisi saja. Padahal seperti yang selalu dikatakan Umi lewat ceramah-ceramahnya, tidak ada satu pun manusia yang satu dimensi; hitam-putih apalagi sempurna. Setiap manusia multidimensi, unik, beragam dan pasti memiliki cela.
Lagipula, bukankah setiap kelahiran telah direncanakan oleh Tuhan? Apakah Pak Johan dan Kristina tahu jika akan dihadirkan dari kedua orang tua yang hubungannya teramat rumit? Atau, apakah anak Zahra tahu jika dia pernah tidak diinginkan oleh orang tuanya sendiri? Yang jelas, aku tidak pernah tahu dan tidak mampu memutuskan dari rahim siapa akan dilahirkan.
Aku memang bukan orang yang religius tetapi kehidupan adalah anugerah. Hidup adalah kesempatan. Termasuk untuk berubah menjadi jauh lebih baik setelah dilucuti duka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya (TAMAT)
ChickLitDi usianya yang sudah kepala tiga dan siap menikah, Maya justru mendapat kabar mengejutkan bahwa adiknya, Zahra, tengah mengandung. Sialnya, di saat keluarganya di ambang kehancuran dan gonjang-ganjing, Maya terpaksa harus menelan pil pahit karena l...