Bab 10 : Badai

105 9 5
                                    

Ayana's Aesthetic Mood :

Ayana's Aesthetic Mood :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Continuation :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Continuation :

-
-
-

Dia masih bergerak,
Ya Tuhan, tolonglah...

Aku berlutut di samping kakek, memegang tangannya. Kengerian semakin terasa ketika aku memeriksa kondisi kakek yang setengah sadar. Luka di kepalanya mengeluarkan darah, beberapa memar di tubuh, dan wajah yang babak belur seperti habis dipukuli. Aku tak sanggup menjabarkannya.

“Kakek?! Kakek kenapa? Apa yang terjadi, siapa yang melakukan ini, kakeeeek...” Kata-kataku keluar dengan cepat tanpa mampu kukendalikan, suaraku bergetar panik.

Sementara itu Keenan bertindak sigap di belakangku. Ekspresinya yang tenang, dengan cepat menghubungi layanan darurat melalui ponselnya.

“Aya...,” kakek memanggilku.

“Kakek! Kakek Jangan bicara dulu, kami sedang memanggil ambulans!” Aku tidak tahan mendengarkan suara kakek yang tersengal-sengal.

“Ibu dan ayahmu... menjadikan rumah dan toko kita sebagai jaminan hutang-piutang judi mereka...,” ucap kakek. “Mereka mendapatkannya... surat rumah... dan uang simpanan kita.”

Seperti tersambar petir saat aku mendengar kata-kata yang diucapkan kakek.

Bagaimana aku mencerna semua informasi ini sekarang? Detik ini, di keadaan seperti ini. Jadi kami akan kehilangan tempat tinggal? Bagaimana bisa, orang yang melahirkanku ke dunia;yang seharusnya melindungiku, malah berakhir menjerumuskanku seperti ini? Kami tidak punya harta dan uang simpanan, hanya rumah dan toko kecil ini untuk menyambung hidup. Tapi mereka masih mengambilnya dari kami.

Kakek mencoba memperingatkanku tentang semua, dan nada mendesak dalam suaranya memberitahuku betapa pentingnya hal itu. Aku mencondongkan tubuh lebih dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian saat kakek berusaha berbicara meski dengan napas yang sesak.

“Para preman itu meminta kita mengosongkan rumah ini dalam waktu 1,5 bulan, Maafkan aku, Aya... aku... aku tidak bisa melindungi....” Kalimatnya terputus karena terbatuk dan memuntahkan segumpal darah segar.

“Sudah, Kek, jangan diteruskan.” Kakek mengangguk lemah, matanya dipenuhi kepasrahan. Dia tahu bahwa tindakan gegabah orang tuaku telah mengakhiri semua usaha keras yang telah kami perjuangkan. Suaranya terdengar seperti bisikan tegang, setiap kata amat menyakitkan.

Aku merasakan tenggorokanku tercekat mendengar kesedihan dalam suara kakek, matanya dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan. Kuulurkan tangan untuk memegang tangannya yang gemetar, air mata mengalir di wajahku saat aku mencoba meyakinkannya. “Kakek... tidak apa-apa, kumohon, kumohon.... jangan tinggalkan aku... kumohon.”

Aku bisa merasakan Keenan perlahan membelai punggungku, mencoba memberiku dukungan. Ambulans sedang dalam perjalanan, aku menangis dan meratap di hadapan kakekku yang mulai kehilangan kesadaran, memohon dengan sepenuh hati agar dia tetap bersamaku. Perasaan tidak berdaya menyelimutiku. Dan saat Keenan dengan lembut mengusap puncak kepalaku, menawarkan sedikit kenyamanan, aku tahu bahwa aku tidak sendirian. Aku memilikinya.

Walau di saat bersamaan, aku juga merasa sangat tidak menentu dan hilang arah.

+++

Baik aku maupun Keenan, duduk tak berdaya di lorong rumah sakit. Pikiranku kacau tak beraturan, penuh rasa cemas dan ketakutan. Tatapanku terpaku pada ruang dingin di ujung lorong yang sudah terkunci selama beberapa jam. Belum ada kabar tentang jalannya operasi kakek.

Tidak ada suara yang dapat kudengar dari dalam sana membuatku bertanya-tanya apa yang terjadi di dalam. Pikiranku buntu, bahkan untuk menghiraukan perawat dan dokter berlalu-lalang. Aku memikul beban ketidakpastian dan kekhawatiran, membuat setiap detik terasa seperti selamanya.

“Bagaimana keadaan kakek kami, dok? Bagaimana kabarnya?” Pertanyaan tersebut kulontarkan setelah melihat seorang pria paruh baya dengan pakaian operasi yang baru keluar dari ruang tersebut. Orang yang kuyakini sebagai dokter itu menghampiriku dan Keenan sambil menghela napas berat sebelum berbicara, “Kami minta maaf, pasien sedang berada dalam masa kritis saat ini. Lukanya parah, syukurlah kalian membawanya kemari dengan segera sehingga kami bisa melakukan pertolongan. Namun, untuk peluang kesembuhannya masih belum pasti. Keadaan pasien bisa saja membaik atau memburuk karena faktor usia, kami akan terus mengabari segera setelah kami mendapat informasi baru.”

Jadi dia dalam keadaan koma sekarang. Aku menutup mulut dengan kedua tangan, antara bersyukur kakek selamat, dan juga menyesali kenapa orang yang kusayangi harus mengalami semua kejadian ini.
Keenan memelukku erat-erat, karena tangisku langsung pecah setelah aku mendengar kata-kata dokter, gelombang kesedihan melandaku, membuatku terguncang oleh keputusasaan. Kesadaran akan situasi mengerikan yang kami alami menghantamku seperti satu ton beban, dan air mata mulai mengalir membasahi pipi.

Aku tidak melihat satupun jalan keluar dari semua masalah. Segalanya begitu buram dan tidak pasti.

Keenan dapat membaui kerapuhanku dengan amat baik, dia mendekat lalu memelukku erat-erat, membiarkanku menangis di dadanya.

+++

Sepulangnya ke rumah, kami berdua merasa lelah secara fisik dan emosional. Perjalanan pulang berlalu dengan cepat, dunia di sekitarku memudar dalam sebuah latar monokrom saat pikiranku tetap terfokus sepenuhnya pada hal-hal menyakitkan yang menimpaku dan kakek.

Untuk mengalihkan perhatian, aku mencoba membersihkan rumah dan toko yang berantakan.

Aku sedang memberi makan kucing-kucing peliharaanku saat Keenan masuk ke dapur, dia memberikanku segelas air. Jam menunjukkan pukul tiga pagi, pikiranku masih diliputi trauma akan kejadian malam sebelumnya, namun aura lembut langkah kakinya membawaku kembali ke dunia nyata. Cairan hangat mengalir ke tenggorokanku, meredakan ketegangan di tubuh dan pikiranku. Bersyukur pada Tuhan atas pengalihan sejenak dari kekacauan emosi. Keenan berdiri di sampingku dalam diam, kehadirannya merupakan pengingat bahwa aku tidak sendirian di masa sulit ini.

“Aku akan melapor ke polisi...,” putusku sejenak, sambil menganggukkan kepala.

Keenan mengernyitkan dahinya mendengar ide tersebut. “Apa yang akan kau laporkan? Orang tuamu kalah berjudi dengan rumah dan toko sebagai jaminan?” Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaan Keenan.

“Apa kau punya uang untuk menyewa pengacara jika laporanmu ditindaklanjuti?” Aku mengangkat bahu, perlahan menggeleng. Kebingungan.

“Memangnya... melapor kepada pihak berwajib kalau kita menjadi korban tindak kekerasan itu perlu uang?”

“Tidak ada yang gratis di dunia ini. Segala hal juga perlu uang, termasuk meminta perlindungan dari pihak berwajib. Kecuali hati mereka sendiri yang tergerak untuk melakukannya,” ucap Keenan melemah. “Tapi menilai dari latar belakang anak-anak terlantar seperti kita, yang nyawanya sama sekali tidak berharga, rasanya akan sulit mendapat tanggapan.” Untuk pertama kalinya Keenan menghela nafas.

Sejujurnya aku masih belum bisa paham ke mana arah pembicaraan ini. Bagaimana bisa niat baik butuh uang? Apa aku salah?

“Aku tidak bilang itu ide yang buruk, sih, tapi orang tuamu berutang pada lintah darat, dan menjadikan rumah ini sebagai jaminan. Polisi hanya akan mempertemukan orangtuamu dengan bandar judi tersebut dan menyelesaikan masalah ini dengan cara musyawarah, lalu menasehati bahwa masalah keluarga sebaiknya diselesaikan sendiri. Apa itu yang kau inginkan?”

Aku tidak berani membantah. Hanya bisa menundukkan kepala, memikirkan kata-kata Keenan dalam-dalam.

“Dan para preman yang mengobrak-abrik rumahmu, dilihat dari cara kerja mereka, ini jelas sindikat pinjaman uang ilegal dengan bunga tinggi. Mereka yang memiliki usaha semacam itu akan menempuh segala cara untuk mencapai tujuan, tidak peduli melakukan kekerasan, kau bisa menganggapnya beruntung jika mereka hanya mengambil paksa surat tanah dan tokomu. Keadaan bisa saja jadi lebih buruk, misalnya mereka menjualmu ke rumah bordil, bahkan menyita organ tubuhmu kalau perlu, mereka tidak akan melepaskanmu kalau kau nekat berurusan dengan mereka.”

Aku menelan ludah, dalam hati membenarkan ucapan Keenan.

“Lalu apa yang akan harus kita lakukan... kakek tidak ada di sini,” kataku padanya, frustrasi. “Jika kita harus kehilangan rumah ini, dan toko kita juga... bagaimana cara kita membayar biaya rumah sakit? Bekerja? Siapa yang mau mempekerjakan kita? Bagaimanapun, kita hanyalah anak-anak.”

Keenan bersandar pada konter di hadapanku, nampak seperti berpikir, tatapannya tertuju ke lantai sejenak sebelum dia mengangkat kepala. Ada sedikit sorot sakit jiwa di matanya, tapi suaranya stabil saat bicara. “Aku akan mencari tahu,” katanya, tegas. “Aku akan menemukan cara untuk membayar tagihan rumah sakit, dan aku juga tidak akan membiarkan siapa pun mengambil rumah dan toko ini darimu.”

Aku tertegun, apa dia gila? Anak remaja lima belas tahun bisa apa.

Eir AN:GE°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang