Bab 4 : Sesuatu tentang Pahlawan yang aku tidak mengerti...

129 42 20
                                    

Hari sudah malam ketika akhirnya aku tiba di rumah.

"Jadi tidak ada uang lagi di sini?" Aku mendengar suara-suara yang agak familiar, diikuti bunyi barang-barang dilemparkan, "Heh Pak tua, jangan bercanda padaku...!"

"Hentikan!" aku bergegas masuk ke dalam, hanya untuk menemukan ibu dan ayahku di sana, ayah sangat marah sehingga ia mulai menyiksa kakek yang saat ini bersimpuh kesakitan di lantai.

Mengapa mereka kembali lagi?  Terakhir kali aku melihat mereka dua tahun lalu pada upacara kematian nenek, mereka pergi setelah membawa uang duka, ya, mereka inilah yang menelantarkanku selama bertahun-tahun, membebani kami dengan hutang-hutang judi yang harus dicicil oleh kakekku setiap bulannya, dan hanya kembali jika mereka butuh uang.

Dari orang tua sampah semacam inilah aku lahir, tanpa pernah merawatku atau menunaikan kewajiban mereka... Mereka menuntut kakek untuk memberi mereka uang, dan tindakan mereka bisa jadi cukup kejam.

Pemandangan kakek yang kusayangi disiksa sedemikian rupa membuatku marah, aku berteriak histeris.
"Apa yang kalian lakukan? Sudah bertahun-tahun menghilang, tidak usah kembali lagi!"
Sebuah tamparan pedas bersarang di pipiku, ayah menamparku dengan amat keras, tubuh kecilku terhuyung jatuh, bibirku sobek dan telingaku berdenging.

"Minggir, bocah tidak berguna," ia berkata penuh kebencian, mengancam akan menamparku lagi, tapi Kakekku memegangi kakinya, "Aku akan memberimu... Aku akan memberikanmu uang..." kakekku memohon padanya, "Jangan memukul Ayana lagi..."

Aku spontan berteriak, "Tidak...! Itu uang modal jualan kita! Kita tidak bisa buka toko besok jika kakek memberi mereka uang itu!"

Suara kakek yang memohon membuatku sangat terpukul, dan pemandangan orang tuaku yang tidak berperasaan melecehkannya terasa seperti hantaman keras di perut.
Sungguh menyakitkan melihat kakekku tercinta dalam keadaan seperti itu; aku akan melakukan apa saja, sekuatku untuk melindungi kakek dan juga toko kami.
Kakek sudah sangat tua dan letih, aku membantu kakekku setiap hari berjualan gorengan  di ruko kecil kami yang terletak di kawasan pertokoan kumuh, kami bertahun-tahun tinggal di sini dan kami sudah bekerja sangat keras, semua demi membayar hutang-hutang judi orang tuaku yang tidak bertanggung jawab dan modal berjalannya toko ini.
Jadi ketika orang tuaku seenaknya merampas uang hasil jerih payah kami, aku benar-benar marah dan geram.

Namun, pada akhirnya aku hanya bisa menangis dan mengutuk mereka, apa lagi yang bisa dilakukan seorang gadis kecil berusia dua belas tahun?
Setelah membawa semua uang dagangan kami, orang tuaku pergi begitu saja.
Situasi yang sangat tidak mengenakkan ini harus sering ku alami dan yang paling menyesakkan bagiku saat itu adalah; aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku hanya bisa menangis kesakitan dan putus asa ketika orang tuaku membawa semua uang modal dagangan kami, meninggalkan toko dalam keadaan hancur dan aku juga kakek jadi harus menanggung semua akibat.
Suara memelas kakek masih bergema di kepala, dan aku masih bisa merasakan gelombang kemarahan dari dalam diriku.

Bagaimana cara orang tuaku memperlakukanku terekam dengan jelas di dalam benakku.
'Kau itu kegagalan, dasar anak cacat tidak tahu berterima kasih!'
'Itulah sebabnya kami tidak ingin membawamu!'
'Kalau tidak bisa membantu setidaknya hasilkan uang, dan jalani hidupmu yang menyedihkan bersama kakekmu itu!'

Akhirnya setelah membereskan ruangan yang berantakan itu seadanya, lalu menyuruh kakekku tidur dan merapikan selimutnya, aku segera naik ke  kamarku sendiri di lantai atas.

Aku menyibak poni ku kearah belakang sambil melihat pada cermin, jelek...
Bekas luka yang terlihat jelas melintang di dahiku.
Hanya beberapa centimeter di atas alis, selisih sedikit saja lagi, aku mungkin sudah buta seumur hidup.
Ini adalah bekas penyiksaan yang dilakukan ibu dan ayahku ketika aku masih sangat kecil.
Mereka yang bertengkar dalam keadaan mabuk, ibu yang memegang pecahan botol minuman keras dan melampiaskan kemarahannya padaku.

Eir AN:GE°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang