[3.7.] Seunghan | A Reminiscence

166 17 18
                                    

Sehari sebelum kembali ke kota tempatnya berkuliah, Jihan mengajakmu bertemu. Kalian sepakat berjumpa di sebuah rumah makan tengah kota, guna mengobrol sekaligus makan malam. Karena kamu tidak punya kegiatan, kamu mengiakan ajakan itu.

Jihan sudah menempati sebuah meja ketika kamu sampai. Kamu melirik jam, khawatir terlambat banyak. Untungnya, kedatanganmu masih belum lama dari waktu janji kalian berdua.

"Aku sudah memesankan chicken steak untukmu. Kamu suka, kan?" tanya Jihan setelah kamu benar-benar duduk.

"Terima kasih, Jihan."

Sembari menunggu kedatangan menu-menu yang kalian pesan ke meja, sahabatmu itu lantas membicarakan banyak hal. Jihan memang yang paling cerewet di antara empat sekawan itu, tetapi kamu tidak pernah bosan atau terganggu mendengarkannya. Jihan selalu berapi-api ketika bicara, dan kamu biasa ikut tepercik baranya. Kali ini, rasanya berbeda. Kamu tidak begitu selera mengikuti dinamika Jihan.

Sudah ada puluhan topik bahasan Jihan ketika ia tiba-tiba berkata, "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Ah, Jihan menyadarinya. Kamu hanya butuh satu pertanyaan untuk menumpahkan segala hal yang mengganggumu belakangan ini. Jadi, kamu menghela napas sebelum menjawab, "Kamu ingat Seunghan?"

"Seunghan...," Jihan mengulang nama itu, lalu tampak berpikir. Wajahnya berubah cerah saat ia berhasil ingat. "Si tampan di acara reuni kemarin. Oh, tunggu, dia sahabatmu, kan? Bagaimana? Kamu berhasil menghubunginya lagi?"

Kamu mengangguk. "Kami bahkan pergi ke arkade tempo hari."

"Pasti seru, kan?"

"Harusnya begitu. Tapi yang kurasakan tidak begitu."

"Kenapa?"

Sekali lagi, kamu menghela napas. "Dia sudah punya pacar."

Jihan ikut menghela napas. "Ah. Jadi, Seunghan bukan cuma sahabat SD-mu."

"Kukira perasaan itu sudah hilang, Jihan. Orang gila mana yang masih menyukai orang yang sama selama sepuluh tahun?"

"Tapi?"

"Akulah orang gila itu."

Jihan menatapmu sejenak. "Kamu benar-benar menyukainya, ya?"

"Sepertinya begitu."

"Bagaimana dengan pacarnya? Adakah keinginanmu untuk membunuhnya?"

Kamu memelotot pada Jihan, terkejut pada pilihan diksinya. "Kenapa mesti membunuh, sih?"

"Kalau kamu menyukai Seunghan sebesar itu, bukannya kamu iri seiri-irinya pada pacarnya?"

Kamu menekuri tanganmu yang terpaut di bawah meja. "Ya, aku merasa iri, tapi ada yang lebih besar."

"Apa itu?"

Terbayanglah segala momen yang kamu tangkap dari sosok Yeongseo baru-baru ini. Perawakannya yang semampai. Wajahnya yang ayu. Nada bicaranya yang lemah lembut. Transformasi kepribadian dibanding masa lalunya yang baru kamu sadari begitu indah.

Dalam pertemuan yang terakhir kali, sebenarnya kamu sudah mempersiapkan diri. Kencan bertiga itu kamu bayangkan sebagai upaya Yeongseo untuk menegaskan siapa dirinya, apalagi ia sudah tahu soal sore hari bersama Seunghan itu. Berulang-ulang kamu memainkan skenario dramatis, semacam Yeongseo yang tahu-tahu memaki dirimu, menyiram segelas air padamu, menjambak rambutmu, lalu berseru di depan mukamu, "Seunghan itu milikku!"

Seseorang yang merasa posisinya terancam harusnya melakukan hal itu. Namun, kamu tidak mengendus sedikitpun intensi itu dari Yeongseo. Di malam itu, ia cuma... senang. Gembira. Tulus sepenuh hati berada di sana.

Imagine & Realize | RIIZE ImaginesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang