[2.5.] Anton | The World He Keeps In

150 27 5
                                    

Segalanya tak lagi sama setelah momen di bawah pohon rindang siang itu.

Sebenarnya, kamu boleh saja membela diri. Kata-kata Samantha waktu itu tidak definitif, yang didasari dari kesimpulan pribadinya saja.

Aku yakin, he didn't appreciate it. Sorry.

Cukup jelas bahwa Samantha hanya sekadar yakin di sana; dan keyakinan tidak selalu merupakan fakta. Bukan kamu sendiri yang mendengar penolakan itu secara langsung. Kamu tidak menyaksikan bagaimana Anton memperlihatkan rasa tidak nyamannya mengenai fakta soal kamu yang menaruh hati padanya. Samantha bisa jadi salah tangkap.

Belum lagi dengan segala momen yang sudah kamu punya bersama laki-laki itu. Tiap malam, sebelum kamu menutup mata, kamu setia mengenang saat-saat berjalan bersama sampai ke gerbang depan sekolah, detik demi detiknya. Kamu betah memutar kembali percakapan menyenangkan di pinggir kolam ikan yang tanpa ikan, kata demi katanya. Dan, setiap saat, kamu merapal setiap fakta tentang dirinya yang hanya kalian ketahui berdua, juga keinginan Anton untukmu menjaganya seperti itu saja.

Semuanya itu menumbuhkan harapan, yang makin hari makin merekah menjadi keyakinan, bahwa Anton telah merasakan apa yang kamu rasakan.

Namun, Samantha punya reputasi sebagai manusia paling peka dan perseptif di kelas. Ia pandai membaca gerak-gerik, sikap, dan intensi yang dimiliki siapa terhadap siapa. Tak heran apabila ia bisa menembus rahasiamu tanpa konfirmasi langsung. Jadi, opini yang ia punya hampir sembilan puluh persen akurat.

Mau tak mau, harapan yang sedang tumbuh subur itu musnah setelah Samantha hadir dengan kesimpulannya. Kamu tidak punya pilihan lain selain percaya, dan menyaksikan hatimu, sebagai ladang tumbuhnya, merengkah.

***

Malam itu, suami istri Emily dan Robin mengajak kamu dan para sepupu untuk makan malam bersama. Lokasinya di sebuah restoran ramen Jepang di bilangan Distrik 9, kawasan bisnis dan pusat perbelanjaan mewah dalam kota tempatmu tinggal. Kamu langsung mengiakan ajakan itu; bukan karena kamu ingin sekali berkumpul dengan sanak saudara, melainkan karena semua makanan dibayar oleh Emily, yang artinya makan gratis.

Pukul setengah delapan, kamu bersama rombongan sepupu sudah lengkap berkumpul di salah satu meja restoran, yang dipersiapkan untuk memuat sepuluh orang. Kamu duduk di antara Emily dan Becky, yang kini tengah asyik mengobrol soal produk kosmetik terbaru keluaran Rihanna. Obrolan itu tidak bisa kamu ikuti, sebab ketertarikanmu pada kosmetik nol besar. Jadi, kamu tidak benar-benar menyimak dan hanya fokus pada tiap suapan ramen.

Lama-lama, satu per satu isi mangkuk di atas meja ludes, kecuali mangkukmu sendiri. Kamu memang terkenal sebagai slow eater, yang sering kali mengundang ejekan 'dasar kungkang'. Maka dari itu, para sepupu sudah sibuk mengobrol dalam kelompok-kelompok kecil tanpa menyertakan dirimu, agar kamu bisa fokus menghabiskan ramenmu.

Karena sejenak tidak dianggap, kamu tidak memedulikan topik apa pun di meja itu. Lalu tanpa disengaja, telingamu malah menangkap samar-samar seorang pria bernada panik. Asalnya dari belakangmu.

"Astaga, Nyonya! Saya minta maaf, saya minta maaf sekali..." Demikian katanya.

Ketika kamu menengok ke belakang guna mencari tahu masalah macam apa yang sedang terjadi, jantungmu kehilangan degup. Sebab, kamu sama sekali tidak menyangka bisa melihat seseorang yang ada di meja berjarak sekitar lima meter darimu di sini, malam ini. Ada Anton, bersama tiga orang lain yang kini berekspresi seragam.

Mereka kompak memasang wajah syok, sementara pria panik tadi, yang ternyata pelayan restoran, terus-terusan meminta maaf. Rupanya satu mangkuk ramen telah tumpah di atas meja itu dan membuat isinya berceceran ke mana-mana.

Imagine & Realize | RIIZE ImaginesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang