[2.7.] Anton | The World He Keeps In

263 29 11
                                    

Hingga saat ini, kamu masih sulit mengontrol otot wajah. Setiap kali terkilas momen di luar gedung pertunjukan semalam, yang bisa dibilang setiap saat, seluruh wajahmu langsung mengembang sumringah. Mungkin, itu bentuk ketidakpercayaan dari segenap sel tubuhmu, bahwa Anton telah mengatakannya.

Walaupun perlu diingat: ada versi perpanjangan dari kalimat kemarin. Kalimat Anton itu bisa diartikan istimewa, tetapi ia buru-buru menambahkan, "Tidak, tidak, aku tidak bermaksud begitu... aku hanya... aku hanya ingin mengajakmu bicara, tapi tidak di sekolah. Bolehkah?"

Namun, tetap saja. Menurut Emily, Becky, dan Jane, yang juga didukung oleh artikel-artikel di internet, ajakan going out pasti bermakna manis. Apa pun maksud Anton di balik permintaannya itu, mereka yakin bahwa akhirnya akan romantis.

Bahkan, Samantha yang punya prediksi buruk soal perasaanmu pada Anton pun mengatakan hal yang sama. "Wah, maaf, aku sempat salah sangka. Kalau sudah mengajak begitu, sih, sudah pasti Anton balik menyukaimu!" kelakar Samantha pada akhirnya.

Alhasil, harapan yang sempat pupus dan membuatmu sempat berhenti memuja Anton pun kembali tumbuh, tanpa kamu duga-duga.

Jadilah Minggu sore ini eksekusinya. Kalian sepakat untuk bertemu di taman kota daerah Distrik 7, yang tengah beken karena pemandangan jingganya pada sore hari. Selain karena ketenarannya, kalian memilih tempat itu karena letaknya yang berada di pertengahan jarak rumah kalian. Jadi, Anton diperbolehkan ibunya untuk berkendara sendiri ke sana.

Kamu memilih naik kereta. Lima belas menit perjalanan kamu tempuh dengan tungkaimu yang tak mampu berhenti bergoyang, mengompensasi kegugupan dan kegembiraan yang sekaligus datang. Kepalamu tak putus oleh angan-angan, tentang apa yang akan terjadi nanti dan seberapa memuaskan segala pemujaan ini akan berakhir.

Sesampainya di stasiun tepat di depan taman kota Distrik 7, kamu langsung menyusul Anton yang sudah menunggu di salah satu sudut taman berbentuk segi lima itu. Lokasinya tidak sulit untuk ditemukan, karena kamu tak perlu berjalan jauh untuk sampai di sana.

Dan, mata kalian akhirnya bertemu. Anton pun melempar senyum lebar sebagai sapaan.

Senyum itu menular cepat. Kamu menyodorkan stoples bening berisi kukis cokelat padanya, yang selesai kamu buat tepat sebelum keluar rumah tadi. "Here you go. Fresh from the oven."

Anton menerimanya. "Astaga... betulan dibuatkan, ya?"

"Tanpa kacang, sesuai permintaan."

"Terima kasih banyak..."

Wajahmu semakin berseri. "Sama-sama!"

Tanpa direncanakan, kalian sama-sama melangkah mundur untuk mencapai sebuah bangku beton yang dicor, tepat di belakang kalian. Dan, begitu saja, kalian duduk berdampingan, dengan jarak paling dekat yang pernah kamu rasakan. Sebab, melalui jarak itu, lengan kananmu dan lengan kiri Anton bersentuhan.

Sekujur badanmu menegang, tetapi kamu berusaha tampil tenang.

Kamu menanti Anton untuk memulai pembicaraan, sebab kamu tidak sanggup memikirkan apa pun dengan jarak sedekat sekarang. Sayangnya, Anton tidak mengatakan apa-apa sampai beberapa lama dan hanya menatap lurus ke arah tengah taman, sehingga kamu hanya bisa kaku menahan posisi agar tidak terlihat salah tingkah.

Setelah beberapa saat yang terasa kekal, akhirnya Anton memutus keheningan. "Aku... senang sekali kamu datang."

Mendadak, hatimu berubah menjadi padang rumput sehijau-hijaunya. "Aku juga."

Hening lagi selama lima detik. Lalu, Anton malah tertawa kecil dan berkata, "Maaf, aku tidak tahu harus mengatakan apa..."

Kamu memberanikan diri untuk mengerling pada laki-laki di sampingmu. Ada yang tergambar jelas dari segala gerak-gerik tubuhnya. Kamu pun ikut tertawa, menyadari bahwa Anton tengah dilanda gelombang perasaan yang sama denganmu. "Bagaimana kalau... kamu mencoba kukis buatanku saja?" usulmu.

Imagine & Realize | RIIZE ImaginesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang