BAB 3. Menyusun Outline

8 11 0
                                    

Hari ini Titin akan bertemu dengan seseorang yang akan membantunya untuk bisa menyelesaikan projek novelnya selama satu bulan. Kemarin malam dia dengan nekat mengirim pesan melalui Instagram kepada Kumara dan syukurnya laki-laki itu mengaminkan permintaannya.

Setelah jam kerja selesai, Titin langsung bergegas pergi menuju sebuah kafe tempat di mana dia akan bertemu dengan Kumara, tidak lupa Titin juga membawa laptop miliknya untuk sesi konsultasi tentang naskah miliknya yang akan dia ikut sertakan ke dalam lomba.

Suasana kafe saat ini tidak begitu ramai, hanya beberapa orang yang sedang sibuk dengan laptopnya masing-masing, alih-alih menikmati hidangan yang ada di depannya. Titin masih terus melemparkan pandangnya ke penjuru kafe hingga kedua matanya menangkap dua orang yang cukup dia kenal.

Kumara dan Shafira-istri Kumara yang sosoknya menjadi tokoh utama di dalam novel perdana milik Kumara. Tidak heran mengapa Kumara begitu jatuh hatinya kepada sosok perempuan bernama Bumi Shafira ini. Perempuan itu teramat cantik dengan surai bewarna coklat miliknya.

"Hallo Titin!" sapa Shafira dan langsung memeluk Titin dengan hangat. Titin merasa canggung ketika bertemu Kumara dan Shafira secara langsung.

"Jadi kamu mau ikut lomba menulis yang Uma share di Instagram?" tanya Shafira setelah kedua orang itu duduk tepat di depan Titin.

Titin mengangguk mengiyakan pertanyaan perempuan yang kini sedang mengenakan dress bewarna biru. Shafira masih tampak cantik meski perempuan itu sudah memiliki dua orang anak.

Titin berdehem singkat, lalu pandangannya beralih ke arah Kumara. Laki-laki itu tampak sibuk membersihkan meja yang menurut Titin tidak ada yang tampak kotor sama sekali di sana dan setelahnya memanggil seorang karyawan untuk memesan makanan.

Sebenarnya selain ingin belajar bagaimana caranya menulis novel, Titin juga ingin tahu mengenai alasan laki-laki itu menyisipkan namanya di dalam novel pria itu. Bahkan jika ditelisik kembali Titin tidak pernah bersinggungan sama sekali dengan Kumara.

Mereka bahkan nyaris tidak pernah bertemu atau satu forum di sekolah maupun di luar sekolah dulu.

Titin berdehem singkat, berusaha menghilangkan rasa canggung yang menerpanya saat ini. Ditatapnya Kumara. "Sebelumnya gue berterimakasih ke kalian karena sudah dengan suka relannya datang dan ingin membantu gue untuk buat novel. Tapi, sebelum gue tanya-tanya tentang penulisan gue mau tanya sesuatu ke lo Kumara."

Kumara yang sedang sibuk membenarkan rambut milik Shafira pun menoleh. "Boleh ... mau tanya apa?"

"Kenapa lo menyisipkan kisah gue ke dalam novel lo itu? Bahkan tanpa persetujuan gue terlebih dahulu?"

🧡

Sudah hampir satu minggu ini Titin mati-matian belajar kepenulisan dengan mengikuti sebuah seminar online. Naskah yang Titin kirim kepada Kak Amy-editor Titin yang Kumara berikan setelah pertemuannya satu minggu lalu-mendapatkan begitu banyak kritikan karena naskah yang Titin tulis benar-benar tidak enak untuk dibaca.

"Ini tanda bacanya masih berantakan, Tin. Kamu harus perbaiki tanda bacamu."

"Kamu lagi nulis novel, loh. Bukan lagi nulis diary."

Bukan hanya dua kalimat itu saja yang Titin terima dari editornya, ada banyak lagi yang mungkin saja jika dijabarkan dengan rinci, satu bab ini hanya akan dipenuhi oleh kritikan Kak Amy.

Helaan napas lelah Titin keluarkan, perempuan itu melirik satu buah mug yang kini isinya sudah kandas gak tersisa. Lalu pandangan Titin beralih ke arah jam dinding. Ternyata sudah begitu larut, karena terlalu fokus pada layar laptop, Titin sampai tidak menyadari jika kini waktu sudah begitu cepat berputar.

Rasa kantuk mulai menyerang, segelas kopi sudah tidak dapat menahan Titin untuk tidak kembali tidur.

"Ternyata menulis gak gampang apa yang gue pikirin."

Sambung lagi besok ....


Dialog dini hariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang