10

62 12 3
                                    

JANGAN MENJADI SILENT READER
TINGGALKAN JEJAK KALIAN ⏬⏩
.
.
.
"Di sana ... sedikit mungkin ada. Terselip namanya"

'''~^_^~'''

Semenjak Neithen tahu mengenai uang bulanan yang diberikan Gerrard, Faida jadi memikirkan kembali ketika hendak menerima uang tersebut.

Seperti pagi ini. Gerrard dan sang istri, Shena, mendatangi rumah Faida. Ia berniat untuk membicarakan mengenai kelanjutan pendidikan Neithen, dan berharap bisa bertemu anak itu. Neithen jarang ditemukan di rumah, kecuali pagi. Itu sebabnya, pagi-pagi sekali sebelum Neithen berangkat kuliah, Gerrard sudah berada di rumah Faida.

"Neithen ada?" tanya Gerrard, ketika sudah duduk tenang dengan segelas kopi yang disuguhkan Faida.

"Masih di kamarnya," kata Faida.

"Makasih, Da, kamu sudah menerima Abang untuk bertamu di sini," ucap Gerrard.

Sebelumnya Faida tidak berani membawa sang kakak ke rumah, karena jika Neithen melihatnya itu akan menjadi sebuah masalah. Namun hari ini ia menerimanya karena merasa bahwa, tidak ada lagi yang perlu disembunyikan dari anak itu. Terlebih Neithen juga sudah mulai dewasa.

"Aku antar Nadine sekolah," pamit reksa pada sang istri. Reksa juga memberikan gestur pamit dengan senyuman pada Gerrard dan Shena.

"Hati-hati, Mas!" ucap Faida.

"Om Gerrard, Tante Shena, kalian kapan ke sini?" tanya Nadine yang baru saja keluar dari kamar dengan pakaian sekolahnya.

"Baru aja Om sampe," jawab Gerrard, sementara Shena hanya memberikan senyuman.

"Kalo begitu Nadine berangkat sekolah dulu! Dah, Mama!" Gadis berusia 17 tahun itu melambaikan tangannya seraya melangkah meninggalkan rumah.

"Dah, Sayang!" sahut Faida lembut.

"Tahun depan Nadine sudah lulus. Ke mana kamu akan memasukan dia kuliah?" tanya Gerrard. "Kamu jangan khawatir soal biaya, Abang pasti bantu kamu. Apalagi soal Neithen," tambahnya.

Langkah Neithen yang baru keluar dari kamar seketika terhenti. Ransel yang menggantung di pundaknya, juga jaket di pergelangan tangannya. Ia menatap ke arah ruang tamu, lalu mengepalkan tangannya kuat. Wajahnya tampak menahan emosi untuk tidak marah melihat sosok wajah dari sang ayah.

Berkat kesabaran itu ia berusaha untuk tidak peduli dan berjalan melewatinya. Namun Gerrard melihatnya dan memanggil, "Neithen!"

Neithen menghentikan langkahnya, namun tak menoleh.

"Ney, boleh duduk sebentar?" pinta Faida.

Neithen lalu berbalik badan, berdiri dengan emosi yang ditahan.

"Sebentar aja!" kata Faida, kemudian laki-laki itu menyetujui sehingga duduk di antara sofa yang diduduki.

"Apa kabar, Nak?" tanya Gerrard dengan wajah senang melihat anak tunggalnya yang sudah tumbuh dewasa.

"Aku jawab sakit pun Papa nggak akan peduli," jawab Neithen.

"Jangan ngomong seperti itu. Tentu Papa peduli sama kamu."

"Mama sama Papa sangat peduli sama kamu, Ney. Mama kangen sama kamu. Tapi kamu nggak pernah peduli pada orang tuamu sendiri," ucap Shena.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang