24

246 47 9
                                    

Happy weekend, Guyss 🙌🙌


HAPPY READING


Dunia Sasuke terasa jungkir balik sejak istrinya dinyatakan hamil. Belum apa-apa kebebasan beraktivitas-nya terganggu, dan terkadang dia tidak menyukai itu. Namun bagaimana lagi? Sasuke benar-benar dituntut untuk jadi laki-laki dewasa. Untuk menjadi laki-laki bertanggung jawab meskipun bertentangan dengan pikiran nakalnya. Lalu, itu secara perlahan membuatnya stress.

Sasuke tidak menyangka Sakura punya sisi manja yang aneh. Tidak mau ditinggal, lah. Mau makan harus disuapi. Bahkan tidur saja minta di puk-puk. Apa tidak sekalian mandi minta dimandiin? Pakai baju, minta dipakaikan? Dia yang mendandani dan mengucir rambut istrinya.

Tidak. Sasuke geleng kepala dengan pikirannya sendiri.

Saat ini, mata onyx tajam-nya menatap Sakura datar. Untuk menghilangkan penat, tadi dia minta izin untuk pergi camping bersama dengan Naruto dan Shikamaru. Namun lagi-lagi, Sasuke harus terhalang rengekan halus istrinya.

"Tidak boleh! Atau aku ikut pergi!" Sakura mengeluarkan suara decakan dengan jelas.

Itu adalah ancaman yang tidak Sasuke sukai. Istrinya punya kesenangan sendiri, dia juga punya. Dia ingin pergi setidaknya untuk satu malam saja. "Angin malam tidak bagus, Istriku." Selalu. Sebesar apa rasa kesalnya, dia dituntut harus menahannya karena Sakura selalu sensitif sejak hamil.

Sakura menahan kedua lengan suaminya. "Kalau begitu, tetap di sini!"

Sasuke mengerang dalam hati. Dia-lah yang bersikeras mengajak dua temannya untuk camping. Sesuatu yang tidak dia sukai kecuali memang diperlukan untuk kegiatan penting.

"Satu malam... Saja." Sasuke masih mempertahankan negosiasi.

"Suamiku, anak kita sedang ingin kita berkumpul." Sakura tidak mau kalah.

Sasuke menghela napas jengah. "Lagi lagi karena bayi." Sasuke memilih duduk di sofa dan melepaskan pegangan istrinya.

"Kau berkata sesuatu, Sasuke?" Sakura bukannya tidak mendengar. Namun dia ingin mendengar Sasuke mengkoreksi ucapannya sendiri.

"Benar, kan? Sedikit-sedikit, bayi. Ada apa-apa, bayi. Bayi tomatku tidak akan semanja itu." Sasuke mendongak.

Sakura terperangah. Kenyataannya begitu. "Jadi Uchiha Sasuke, kau mau bagaimana?" Jadi apa dirinya harus menanggung seorang diri semua rasa campur aduk dalam menjalankan proses kehamilannya? Tidak. Sakura tidak mau.

Sasuke tidak menyukai nada sarkas istrinya. "Setidaknya kamu mengerti, aku juga punya urusan."

"Urusan bermain-main dengan teman kamu, maksudnya?" Sakura terpancing emosi. "Mereka lebih penting dari pada anak kamu sendiri?"

Sasuke menggerakkan gigi. Dia tidak dalam pilihan untuk memilih siapa yang paling prioritas. Tidak seharusnya Sakura juga bersikap egois, seolah-olah dia tidak perduli sama sekali.

"Terserah. Aku akan tetap pergi." Sasuke berdiri untuk pergi. Dia perlu menjauh.

"Ya, pergilah dan jangan kembali lagi!" Sakura menatap punggung suaminya tajam.

Sasuke tidak perduli akan ancaman seperti itu.
.
.
.
.
.
Sakura hanya menatap nanar ruangan kosong ini. Sepi. Setidaknya Sakura ingin menatap Sasuke yang sedang membaca buku atau sedang serius mengerjakan laporan dari Kakashi.

Sakura menatap pantulan dirinya pada cermin datar. Perutnya sudah agak menonjol. Ini hampir genap empat bulan. Suka dan duka telah dia dan Sasuke lewati. Ya, Sasuke benar, secara mental mereka tidak terlalu siap. Namun lagi-lagi, mereka bukan satu-satunya. Tidak ada alasan bagi Sasuke untuk merasa paling tidak siap.

KONOHA NEXT GENERATION ACADEMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang