Denting jam membaur pada pekatnya gulita. Lentera penerang pun telah padam, menyisakan temaram. Tetapi, kantuk itu tak jua kunjung datang. Sebaliknya, riuh megah isi kepala menciptakan kalut membalut kian berlarut.
Layaknya diriku terpaku di balik jendela kaca yang menampilkan singgasana malam. Benakku justru berkelana lantas terlempar pada sudut memori usang, namun sanggup menghadirkan sayatan pedih yang bekasnya bahkan enggan memudar hingga detik ini.
Meski demikian, ku paksakan langkahku untuk tetap menelusuri setapak jalan dengan pekatnya aroma lara dari kubangan nestapa yang terabadikan.
Benar.
Di sanalah awal mula semestaku menjelma kelabu. Bahkan saat itu aku masih begitu belia tatkala harus meneguk paksa pahitnya duka. Laksanakan bunga yang tak sempat mekar, namun dipaksa layu—meninggalkan jejak-jejak pilu membiru. Acap Kali dihantui esensi kelam yang memburu.
Nelangsa!
Mungkin benar, garisan takdir yang terangkai untukku ialah disulam dari pena dengan elegi sebagai tintanya. Sebab hanya kutemukan kegetiran dan air mata mengiringi di setiap langkahku dalam mengarungi dunia ini.
•••
Don't coppy paste apapun yang berada di sini. Kami melarang keras untuk siapapun yang menyalin tulisan kami, jika ingin ppst ya silahkan, tetapi terapkan cr sebagai penanda kalau ini adalah tulisan “Maven Gramatha.”
See you next time!
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀ksara 𝐒emesta [ON GOING]
Random⚠no copas⚠ Teringat sisa memori... Tentang dua atma yang di paksa berhenti karena perasaan yang berbeda. -𝐀ksara 𝐒emesta