SUARA TINTA BERCERITA [2]

33 1 1
                                    

Dilarang keras untuk menyalin seluruh yang ada di ftmrgnaa.

H A P P Y  R E A D I N G

Sunyi adalah hal paling kusukai. Menurutku, dalam keadaan hening seperti ini aku bisa merasa tenang. Oleh sebab itu, setiap jam istirahat biasanya aku menghabiskan waktuku di dalam perpustakaan: membaca beberapa buku pelajaran ataupun buku fiksi seperti novel yang memang disediakan di sana. Selain ketenangan, aku juga dapat menambah sedikit wawasan dengan buku-buku di perpustakaan. Meskipun aku merupakan seorang penggemar buku fiksi, namun banyak sekali pelajaran yang bisa aku dapatkan dari sana. Walaupun novel kebanyakan merupakan sebuah karangan, namun tidak sedikit yang memberikan banyak pesan dan pembelajaran berharga, terutama perihal kehidupan di dunia.

Aku menutup halaman terakhir buku yang selama tiga hari ini aku baca. Aku bangkit dari dudukku, melangkah menuju sebuah rak yang berada di bagian tengah, meletakkan novel tersebut di antara beberapa novel yang berjejer rapi di atas rak itu. Pandanganku mengembara, membaca satu-persatu judul novel, berniat mencari buku baru yang belum sempat aku baca. Namun, sudah hampir sepuluh menit aku belum menemukan novel yang menarik atensiku. Aku menunduk, menatap sebuah jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Sepuluh menit lagi waktu istirahat akan habis, namun aku belum menemukan buku yang bisa kubaca.

Aku menghela napas panjang. Mungkin esok aku akan kembali mencari, sekarang sudah saatnya aku kembali ke dalam kelas. Aku membalikkan tubuhku, namun tubuhku langsung terhuyung ke belakang ketika mendapati seseorang berdiri tepat di hadapanku, aku bahkan hampir menabraknya jika saja aku tidak segera menyadari kehadirannya. Aku tersentak kaget dan secara spontan mendongak guna melihat wajah sosok yang nyatanya lebih tinggi dariku.

Terkejut? Tentu saja. Aku benar-benar tidak mengira bahwa sosok yang saat ini berdiri di hadapanku adalah sosok yang selama beberapa hari ini memenuhi isi kepalaku.

Aksara Buming Bagaskara.

Aku terdiam, kebingungan harus bereaksi seperti apa. Pandanganku masih tertuju padanya yang sialnya ia juga tengah memandangku sehingga kedua bola mataku bertemu dengan tatapannya.

Ia terdiam, sebelum akhirnya menyodorkan sebuah buku ke arahku. Atensiku beralih pada buku yang ia serahkan, aku membaca judulnya sekilas. Baru saja aku hendak bertanya, ia sudah lebih dahulu bersuara.

“Buku ini bagus.”

“Ya?” Aku mengernyit heran.

“Kamu sedang mencari buku, bukan?”

Aku mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan. Dan demi Tuhan, jantungku sudah berdetak kencang sekarang.

“Saya merekomendasikan buku ini.”

Apa, katanya?

***

Tak terasa waktu terus bergulir: hari silih berganti. Aku melangkah menyusuri koridor sekolah yang terlihat masih sepi. Tentu saja karena ini masih pagi. Aku sengaja berangkat sepagi ini karena hari ini adalah jadwal piketku.

Langkahku terhenti tepat di depan kelas, sejenak aku mengedarkan pandanganku. Kelas masih kosong. Dengan cepat aku melangkah masuk dan menghampiri mejaku dan meletakkan ranselku di sana. Aku berjongkok, mengulurkan tanganku ke dalam kosong meja, meraba-raba mencoba mencari sesuatu. Dan benar saja, aku kembali menemukan sebuah kertas.

Aku menarik tanganku kemudian membuka kertas tersebut. Aku membaca deretan kalimat yang tertulis di atas kertas itu. Bibirku berkedut, mencoba menahan senyuman. Lihat! Bahkan aku merasa tak karuan hanya karena sebuah rayuan ulung yang tertulis di dalam kertas ini.

Ini bukan kali pertama aku mendapatkan sebuah surat yang berisikan kalimat-kalimat manis. Namun, sudah hampir dua Minggu. Di dalam sebuah surat yang aku dapat, tidak ada nama pengirimnya. Hanya ada huruf A. Dan aku tahu siapa pengirimnya.

Aksara Buming Bagaskara.

Entah sejak kapan aku merasa dekat dengannya. Semenjak kejadian di mana ia merekomendasikan sebuah novel, aku sering membaca buku bersamanya di perpustakaan. Ia yang mulanya terlihat begitu tak tersentuh, kini mulai menunjukkan sikap manisnya.

Aksara Buming Bagaskara, yang semula kukira hanya akan menjadi anganku, kini berada begitu dekat. Laki-laki yang sangat pandai menciptakan puisi. Merangkai diksi hingga membuat lemah hati ini.

Dia terlalu manis.

Aku menundukkan kepalaku, kembali membaca kalimat yang mungkin sampai ribuan kali kubaca tidak akan pernah terlihat membosankan. Senyumku mengembang, tak dapat lagi kutahan. Aku melipat kertas tersebut dan menyimpannya ke dalam ransel, kemudian melangkah menuju pojok kelas guna mengambil alat kebersihan dan segera membersihkan kelas ini.

***

Semalam rembulan bersinar terang, begitu indah, dan itu mengingatkan saya akan dirimu. Sinarnya memancarkan sebuah kehangatan. Nona, apakah kau tengah diselimuti kebahagiaan sehingga rembulan turut merasa senang? — A.

••••

Santai aja bacanya, jangan terbang wkwk.

Gimana part ini? Suka tidak?

Berpendapat sini, gimana perasaan kalian jika kalian menjadi wanita yang digemari Aksara Buming Bagaskara?

Sampai jumpa di next chapter!!!

𝐀ksara 𝐒emesta [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang