Sepasang safir itu terus menerus tercurah pada sosok yang sudah beberapa hari ini tampil berbeda saat ke sekolah. Seragam sekolahnya tak lagi kebesaran, tak pula ketat atau press body. Rambut panjang yang tergerai, sesekali dikuncir tinggi. Bola mata obsidian yang cerah tanpa penghalang lensa petak. Senyum ceria terus terkembang, membingkai wajah yang terlihat semakin manis. Walau Naruto sedang bersantap sekalipun, lirikan matanya tak pernah lepas dari sosok yang tak lain adalah keponakannya sendiri.
Naruto berdeham untuk memecah keheningan yang ada di antara mereka berdua. Ia cukup penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada si keponakan. Belum ada hitungan bulan stay di Jepang, ia sudah mengalami banyak perubahan yang begitu signifikan.
"Saara, kamu yakin ... tidak memerlukan kacamata lagi?" Naruto bertanya, pria lajang berusia 27 tahun ini berniat menyindir sebenarnya. Karena ia tahu kondisi mata Saara dari Ayahnya, yang tak akan bisa lepas dari benda optik tersebut.
Saara melirik sekilas, ia masih mengunyah lambat omurice yang ada di dalam mulut."Ya,"jawabnya singkat.
Netra biru itu tak berpaling kemanapun, menatap lekat si keponakan yang ada di kursi sebelah kiri. Ia sedikit menaikkan kacamatanya hingga ke pangkal hidung."Apa kamu memakai ... lensa kontak?"duga si Paman.
Saara melirik lagi, merasa risi dengan si Paman yang mulai mengintimidasi. Ia hanya menjawab dengan anggukan kepala satu kali."Uhm."
Naruto memberi tatapan menyudutkan ke Saara."Tanpa ada konsultasi dengan Dokter spesialis mata atau sejenisnya?" Pernyataan bernada tak senang itu membuat Saara merengut. Ia melirik Naruto dari ekor matanya, kemudian mencebik tak terima."Tentu saja sudah."
"Dengan siapa?"cecar Naruto.
"Dengan ... teman."
"Teman atau ... " Naruto menghembus napas singkat, kelopak tan itu menyipit tajam,"teman"?" Intonasi bicara Naruto jauh lebih rendah saat menyebut kata 'teman' yang ini.
Naruto terus mengintrogasi Saara hingga ia mendapat jawaban yang memuaskan. Memiliki keponakan perempuan berusia remaja memang cukup merepotkan. Sebagai pria dewasa, ia sudah melewati fase itu. Fase rentan dalam proses pencarian jati diri. Menurutnya, Saara tak bisa dibebaskan begitu saja atau dikekang sedemikian ketat, ditakutkan ia akan berontak dan melakukan hal yang tak terbayangkan.
"Ya, teman! Teman perempuan," Saara menjawab tegas, demi mematahkan asumsi si Paman yang mungkin memiliki anggapan berbeda darinya. Tiba-tiba saja Saara mengangguk-anggukkan kepala, pertanda mengerti arah pembicaraan ini."Oh.. apakah maksud Uncle ... Pacar ya?"
Naruto menatap mata Saara sepintas. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Ia kembali menggulirkan pandangan ke layar tab yang sedang dipegang.
Saara sangat tahu bahwa diamnya si Paman, berarti mengiyakan. Gadis itu menghela napas,"Dia perempuan dan ... senpai-ku di sekolah. Dia baik." Saara tak akan bosan untuk mengulangi penjelasan yang diucap. Paman satu ini cukup kaku dan harus terus menerus diyakinkan agar percaya seutuhnya.
"Hati-hati dalam memilih teman, Saara," suaranya yang dalam itu, sarat akan peringatan. Berikut tatapan dinginnya terhadap Saara. Sebagai orang yang diamanahi untuk menjaga, Naruto hanya bisa mewanti-wanti Saara agar selalu berhati-hati di manapun berada. Mengingat ia memiliki kesibukan yang cukup menyita waktu, jadi tak bisa setiap saat mengawasi keponakannya. Kecuali melalui ponsel, tentu saja.
Saara mengurai senyum pengertian dan menatap wajah tampan Pamannya."Ya, Saara tahu, Uncle," jawabnya lembut. Saara menganggap rasa khawatir dari si Paman adalah sebagai wujud perhatian dan kasih sayang terhadapnya. Saara merasa sangat senang akan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Chilli (End)✅
FanficIa dituntut untuk dewasa sebelum waktunya. Menepi dari kenyataan hidup yang getir dengan bolak balik masuk klab malam. Cabe-cabean? Bukan ! Dia hanya mengharap cinta dan kasih sayang, bukan nafsu semata - Hinata Hyuuga Executive tampan yang cool sep...