🫒 What If (2/2) 🫒

112 15 0
                                    

Sabo masih ingat pertemuan pertamanya dengan Ace. Dulu, rasanya sangat menyenangkan bisa punya teman dekat yang selalu ada untuknya. Main bersama tiap hari sampai lupa waktu. Tidak lupa pula mereka saling berjanji untuk selalu berteman sampai dewasa.

Lucunya, janji konyol dua orang bocah berusia 6 tahun kala itu berubah jadi nyata. Dari sd, smp, sma, hingga kuliah tetap saja lengket bagaikan lem. Sabo yang dulunya periang berubah makin kalem begitu menginjak remaja.

Sabo tidak tahu mengapa perubahan itu hanya terjadi pada dirinya, sementara Ace masih banyak bicara dan pandai bergaul seperti biasa. Meski begitu, persahabatan mereka tidak luntur sama sekali. Ace selalu ada untuknya.

Entah bagaimana, begitu menginjak usia remaja, Sabo merasa tidak ingin membicarakan hal yang tidak perlu lagi, terlalu banyak berbagi cerita tentangnya sendiri, apalagi tentang rasa suka yang diam-diam hinggap di hati.

Semua itu cukup dia simpan seorang diri, karena akan rumit jika sebuah perasaan yang harusnya istimewa jadi malapetaka kalau sampai diungkapkan.

Sabo menyukai Ace sejak menginjak remaja. Di usia itu, Sabo yakin perasaannya bukanlah sesuatu yang membingungkan. Dia sadar kalau ini agak tidak normal. Ada begitu banyak orang lain yang sudah dia temui, tapi mengapa jatuh cintanya justru ke sahabat sendiri yang hampir tiap hari dia lihat wajahnya?

Harusnya Sabo muak, tapi nyatanya tidak. Ingin rasanya pula mengenyahkan perasaan ini, tapi semakin ditekan, semakin Sabo tersiksa. Rencananya untuk belajar giat agar bisa berpisah universitas dengan Ace pun gagal total. Pada akhirnya mereka lolos ke universitas yang sama.

Entah ini disebut keberuntungan atau kesialan. Jujur, menyimpan perasaan untuk orang yang sama selama 4 tahun ke depan bukanlah hal yang mudah. Perjalanannya pasti panjang.

Maka dari itu, Sabo berubah pikiran. Lebih baik diungkapkan saja perasaan yang begitu membebani ini, sebelum Ace dimiliki orang lain.

Pertemuannya dengan Koala adalah ketika mereka mendaftar di sebuah klub membaca buku di kampus. Bagi Sabo, bertemu Koala memberikan angin segar, karena Koala adalah perempuan yang periang. Dengan karakternya yang seperti itu, banyak sekali laki-laki yang mencoba berkenalan dengannya. Koala bilang dia belajar dari kakaknya untuk selalu ramah pada siapa saja, karena dengan begitu sinar dari dalam diri pun akan ikut terpancar.

Sabo yang tengah kesulitan akan percintaannya sendiri memutuskan sesuatu yang besar dalam hidupnya, yakni berkonsultasi tentang cinta ke kak Robin, kakak dari Koala.

Rupanya, ada banyak sekali hal yang kurang dari Sabo. Pertama, dia hanyalah kutu buku yang tidak menarik, kurang senyum, kurang peka, dan tidak pandai berkata-kata. Menyakitkan sekali mendengar orang lain menilai kekurangannya, akan tetapi Sabo menerima dengan lapang dada.

Dari yang awalnya dia berpikir hanya tinggal menyatakan cinta, ternyata justru dirinya yang harus diperbaiki. Tiba-tiba jadi orang yang murah senyum tidaklah mudah, rasanya melelahkan. Tapi karena Ace memuji perubahan baiknya, Sabo jadi makin bersemangat.

Baru dua minggu semua berjalan lancar, namun kini sudah ketahuan. Duduk di meja makan bersama seperti saat ini pun terasa berbeda. Sarapan mereka ditemani kesunyian.

Sesekali Sabo menatap Ace, begitu canggung.

"Sabo," ucap Ace memecah keheningan yang telah berlangsung selama 15 menit.

"Ya?"

"Apa kamu sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaanku?"

Tatapan mata Sabo datar, namun sarat akan kesedihan. Dia tidak bisa banyak tingkah sekarang.

"Tentang apa?"

Dentingan gelas milik Ace membuat fokus Sabo kembali ke tempatnya setelah hampir melamun tanpa sengaja.

Story of Us • AceSaboTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang