AKIBAT dari ide gila Amara, malam ini aku dibuat ragu untuk meninggalkan jejak tanda tangan di atas kertas surat pernyataan orang tua yang ada di genggamanku. Sudah lima menit benda itu berada di tangan dengan mata yang menatap lamat kertas yang sama sekali tidak pernah menjadi bagian dari rencanaku selama bersekolah di SMA ini.
Aku bangkit dari kursi meja belajar. Mondar-mandir dengan mata yang masih fokus dengan selembar kertas di tanganku, mengelilingi kamar yang dipenuhi oleh poster grup One Direction yang sedang naik daun saat ini. Hingga aku berhenti tepat di depan poster salah satu member One Direction yang sengaja ku tempel dengan ukuran lebih besar dibandingkan dengan poster yang lainnya, Harry Styles.
"Her, menurut kamu aku harus join OSIS atau nggak? Bukan join juga, sih, sebenernya, tapi si Amara sialan itu..." gumamku seraya menatap wajah Harry Style yang jauh lebih tinggi daripada posisiku sekarang, "agh! Amara stress!" gerutuku sembari mengacak-acak rambut.
"Her, tolong aku, Her." Aku mengadu dengan ekspresi memelas di depan poster Harry yang sedang bernyanyi di atas panggung, memperlihatkan lesung pipinya yang membuat siapa pun akan terpana melihatnya.
Aku menarik kedua sudut bibir ke bawah dengan kening yang bertaut seraya menunggu jawaban dari sosok Harry Styles itu.
1 detik.
5 detik.
10 detik.
Sosok Harry Styles di poster tersebut masih diam alih-alih memberikan jawabannya. Aku pun menghempaskan kedua tanganku di udara dengan asal. "Oke. Ini gue yang stress. Bukan Amara."
𓆝 𓆟 𓆞 𓆝 𓆟
"Kamu mau nyalonin diri jadi wakil ketua OSIS?" tanya Ibu saat kami sekeluarga sedang menyantap makan malam di meja makan. Setelah aku menyetujui apa yang ada di kertas itu, aku membawanya kepada ibu untuk segera ditandatangani.
"Bukan. Amara minta aku gantiin dia buat jadi calon wakil ketua OSIS," jelasku sembari memotong sosis di atas piring. Aku melirik wajah ibu yang terlihat kebingungan dengan mulut yang penuh dengan makanan.
"Emang bisa kayak gitu, ya?" tanya Ibu lagi.
Bahuku terangkat cepat dengan tatapan memandang makanan di piring yang hanya kuaduk-aduk tanpa selera. "Aku juga belum tentu diterima, kok."
"Diterima juga nggak apa-apa," sahut Ayah tiba-tiba. Sontak aku menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung. "Ya bagus, dong? Jadi punya pengalaman dan belajar tanggung jawab," lanjutnya.
"Tapi jadi ketua atau wakil itu tanggung jawabnya besar. Aku takut nggak bisa ngejalaninnya," jawabku dengan penuh kekhawatiran.
"Kamu udah pernah coba jadi ketua atau wakil OSIS?" tanya Ayah yang langsung kubalas dengan gelengan kepala samar. "Ya udah. Dicoba biar tau. Gimana caranya kamu tau kamu bisa atau enggak kalau belum dicoba."
Mendengar pernyataan Ayah, Ibu langsung mengangguk setuju. "Bener. Dicoba aja dulu, hitung-hitung jadi pengalaman baru, kan?" ucapnya. "Dicoba dulu, ya?"
Aku mengesah pelan, hanya bisa menatap Ibu yang mulai menekan salah satu ujung pulpen hingga mengeluarkan bunyi kecil, lalu mulai menggoreskannya di atas kertas yang sedari tadi ada di genggamannya. Di saat yang bersamaan pula, perasaan campur aduk antara ketakutan dan kekhawatiran mulai menyelimutiku.
𓆝 𓆟 𓆞 𓆝 𓆟
Seharusnya, saat ini adalah momen paling menegangkan bagi siapa pun yang menginginkan posisi ini. Mereka seharusnya berusaha semaksimal mungkin untuk menjawab segala pertanyaan yang dilontarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
On the Day We Call It Love
Romance(PREQUEL NEW YORK IS CALLING YOU) Kehidupan Nala di sekolah menengah berubah drastis ketika sahabatnya diam-diam mencalonkan dirinya sebagai wakil ketua OSIS. Nala harus bekerja sama dengan Adnan, seorang siswa berprestasi dengan segudang impian. Se...