DAY 01: PERANGKAP TIKUS

190 15 10
                                    

SMA NEGERI ANTASARI JAKARTA, 2013.

SUARA dari pengeras suara lapangan sekolah berhasil membuat tanganku bergerak semakin tergesa-gesa akibat merogoh seluruh kantung di dalam tas untuk mencari topi abu-abu yang harus ada pada hari Senin itu. Namun, benda yang ku cari justru tidak muncul dari pandanganku. Jantungku mendadak berdegup kencang. Karena hari Senin adalah hari di mana topi ini sangat diperlukan untuk upacara bendera.

"Ketemu nggak?" tanya Amara di sampingku. Ia sudah siap dengan segala atributnya.

Aku berusaha mengobrak-abrik isi tasku kembali hingga benda abu-abu itu terlihat pada selipan buku paket sejarah. "Ketemu!" seruku.

"Ya udah, ayo cepetan ke lapangan. Keburu anak OSIS sidak ke sini," seru Amara sambil sedikit menarik lengan bajuku.

"Iya. Iya, sebentar."

"Akhirnya, aku dan Amara berlari meninggalkan kelas yang sudah kosong, sementara aku berusaha memakaikan topi di kepalaku.

Di lapangan sudah banyak siswa-siswi berkumpul untuk melaksanakan upacara bendera pagi ini. Aku dan Amara mencari di mana barisan kelas kami. Hingga akhirnya, kami menemukan Fara, salah satu teman sekelas kami.

"Nah, ini dia pahlawan kita!'' seru Fara yang berada di barisan belakang. "Cepetan ke depan, Nal."

Aku mendengus sebal. Ini bukan pertama kalinya anak kelas XI IPS 3 menyuruhku secara sukarela untuk berdiri di barisan terdepan saat upacara. Alasannya karena mereka takut tidak bisa bercanda jika berada di barisan terdepan.

Aku tersenyum masam pada Fara sebelum menarik tangan Amara untuk membelah barisan untuk menuju barisan terdepan. "Padahal anak OSIS sama guru kesiswaan suka mondar-mandir di barisan belakang," gumamku pelan yang dibalas kekehan kecil tanpa suara oleh Amara.

Upacara bendera berjalan seperti biasa. Terasa lama dan membosankan. Berkali-kali aku menyipitkan mata ketika sinar matahari berhasil membidik sinarnya tepat ke wajahku. Hingga tak terasa empat puluh menit terlewati begitu saja. Saatnya murid-murid bergegas meninggalkan barisan masing-masing. Namun, sebuah pengumuman lewat pengeras suara menyuruh kami semua untuk tetap berada di barisan masing-masing.

"Harap untuk tidak meninggalkan barisan terlebih dahulu. Ada pengumuman yang akan disampaikan oleh kepala sekolah."

Sontak suara helaan napas terdengar memenuhi lapangan. Semua murid yang berada di lapangan mengeluh. Beberapa ada yang melepas topinya untuk mengipasi wajah mereka yang sudah dipenuhi oleh keringat, lalu terlihat Ibu Kepala Sekolah, Bu Wani, berdiri di depan mikrofon tinggi. Beberapa kali benda itu diketuknya dengan jari sehingga menimbulkan bunyi dengung yang cukup keras.

"Selamat pagi semuanya, salam sejahtera bagi kita semua. Terima kasih anak-anak yang Ibu cintai untuk tidak meninggalkan lapangan terlebih dahulu. Karena, kita akan memberikan penghargaan, apresiasi, dan dukungan untuk teman-teman kita yang berhasil memenangkan Olimpiade Sains Nasional di Bandung minggu lalu," ucap Bu Wani dengan tepuk tangan, membuat kami semua ikut bertepuk tangan.

"Ada tiga orang anak dari sekolah kita yang memenangkan juara Olimpiade Sains tingkat nasional 2013." Bu Wani melirik secarik kertas di hadapannya. Ia menyebutkan nama dari tiga orang yang dimaksud. Setiap nama yang disebut, tepuk tangan meriah berhasil memenuhi seisi lapangan pagi ini. Tiga anak tersebut masuk ke tengah lapangan untuk penyerahan sertifikat dan medali. Satu anak dari rumpun IPS, dan dua lainnya dari rumpun IPA.

"Adnan lagi, Adnan lagi," gumam Amara pelan di belakangku. Ia berkata sangat pelan. Namun, berhasil membuatku menolehkan kepala ke arahnya.

"Hm?"

On the Day We Call It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang